Oleh Win Ruhdi Bathin

“104 tahun lalu, Belanda menjadikan kopi Gayo sebagai Product for Future. Kini, menjadi penyumbang terbesar Pendapatan Asli Daerah setempat. Tapi petani kopi kian terjepit”

PERCAYA atau tidak, saat ini kopi gayo telah menjadi ikon kopi berkualitas cita rasa terbaik. Semua pecandu kopi di Aceh tentunya tak akan menyangkal pernyataan itu. Tapi asal tahu saja, kemasyhuran kopi Gayo juga sudah menyebar ke dunia internasional, ditandai dengan masuknya Star Buck, produsen kopi yang telah dikenal seantero dunia.

Perlu diingat, ini kopi Gayo, bukan kopi Pemerintah Daerah Gayo, karena hingga saat ini tak ada satupun kebun kopi milik pemerintah yang dikelola secara profesional dan menjadi contoh bagi rakyat. Tidak ada sama sekali.

Meski tak ada perhatian dari pemerintah, bukan berarti kualitas kopi yang dihasilkan oleh para petani menurun. Awal Oktober lalu, untuk menjawab penasaran tentang kopi Gayo, atas permintaan Star Buck, telah dilakukan suatu penelitian tentang kopi Gayo, di beberapa kecamatan di Aceh Tengah.

Dilakukan oleh LSM Bitra dan IFC, selama dua pekan, penelitian berusaha menjawab tentang pola bertani, hasil, jenis kopi, kontinuitas, dan sejumlah penelitian lain dalam bentuk Baseline Survei Petani Kopi 2009.

Kita kecolongan

Selain Star Buck, ada juga berbagai perusahaan asing yang masuk dan menggandeng koperasi lokal atau mitra lokal lainnya untuk mengeksport kopi Gayo. Kebanyakan kopi yang diekspor diberi label “Kopi Organik”

Kenapa kopi gayo banyak diminati asing? Ada yang menyebutkan, rasa kopi Gayo melebihi cita rasa kopi Blue Montain asal Brazil. Mungkin, alasan inilah yang membuat sebuah perusahaan Belanda nekat mempatenkan nama Kopi Gayo di negaranya sebagai merek miliknya.

Dengan dipatenkan kopi Gayo oleh perusahaan Belanda ini, kopi gayo tidak bisa lagi diekspor keluar negeri memakai merek “Kopi Gayo”. Sementara jika tidak memakai merek “Kopi Gayo”, harga jual akan lebih rendah. Dan secara geografis kopi gayo memang terletak di sepanjang wilayah Dataran Tinggi Gayo yang meliputi tiga kabupaten, Takengon, BenerMeriah dan Gayo Lues.

Petani kopi kecolongan. Bagaimana bisa, kopi yang mereka usahakan selama bertahun-tahun di tengah berbagai Asosiasi Kopi Aceh dan retribusi yang selalu dipungut pemda, kini hak paten itu telah dimiliki oleh orang lain di seberang benua.

Lantas apa saja kerja para pengusaha kopi, pemda, Asosiasi pengusaha daerah (Aped), atau kelompok– kelompok yang mengambil keuntungan dari menjadi asosiasi kopi tapi, sesungguhnya tidak berbuat apa–apa. Atau mereka dari seabrek nama lain yang seolah-olah berpihak pada petani kopi.

Rakyat kecolongan, pengusaha, Pemda Aceh dan Indonesia patut berduka atas “musibah” ini.

Saky Septiono dari Direktorat Merek Dirjen HAKI Dephum dan HAM, beberapa waktu lalu pernah menyebutkan, sebenarnya masih ada peluang untuk mendapatkannya kembali paten kopi rakyat gayo tersebut. Kopi Gayo tidak bisa didaftarkan sebagai merek dagang perusahaan tertentu seperti yang dilakukan pengusaha Belanda, karena merupakan Indikasi Geografis (IG) di Indonesia. Karena itu pemerintah Indonesia berusaha membatalkan pendaftaran merek secara internasional itu dengan mengacu pada Trade Relative Aspects of Intellectual Property.

Sebenarnya bukan cuma perusahaan Belanda yang ingin memiliki merek kopi Gayo. Sejumlah warga Gayo pun banyak yang mencoba mendaftarkan merek kopi Gayo ke Dephumkan RI secara perorangan, namun tidak dipenuhi. Karena sertifikat IG hanya boleh dimiliki oleh masyarakat Gayo, bukan perseorangan, lembaga, perusahaan, atau institusi lain.

Kopi bagi masyarakat Dataran Tinggi Gayo sudah seperti “nyawa dan tubuh”, tidak terpisahkan. Jika kita bertanya kepada para pejabat di Aceh Tengah dan Bener Meriah yang kini jadi penguasa dan dipercaya “mengelola” uang rakyat lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK), yang jumlahnya ratusan milyar, mereka semua pasti tahu kopi.

Bahkan, para pejabat itu mungkin kuliah dengan uang yang bersumber dari hasil panen kopi orang tua mereka. Seperti kebanyakan penduduk Aceh Tengah. Maman ilang maman ijo, beta pudaha, beta besilo.

Pepatah gayo tersebut tampaknya cocok dengan fakta kekinian tentang kopi. Di jaman penjajahan Belanda, perkebunan kopi jauh terkelola dengan baik dan professional dibandingkan saat ini. Betapa tidak, Belanda menjadikan kopi yang diproduksi pertama kali tahun 1905 kemudian ditanam di bagian utara Danau Laut Tawar pada tahun 1908, sebagai “Product for future”

Di tahun 1924 Belanda dan investor Eropa telah memulai menjadikan lahan didominasi tanaman kopi, teh dan sayuran (John R Bowen, Sumatran Politics and Poetics, Gayo History 1900-1989, halaman76).

Kemudian, pada Tahun 1933, di Takengon, 13.000 hektar lahan sudah ditanami kopi yang disebut Belanda sebagai komoditas “Product for future”. Masyarakat gayo, tulis John R Bowen, sangat cepat menerima (mengadopsi) tanaman baru dan menanaminya di lahan-lahan terbatas warga. Perkampungan baru di era tersebut, terutama di sepanjang jalan dibersihkan untuk ditanami kopi kualitas ekspor. Tahun 1920 Belanda mulai membawa tenaga kerja kontrak dari Jawa ke Gayo, untuk menjadi pekerja di perusahaan dammar (pinus mercusi).

Jika 104 tahun lalu Belanda sudah mengelola kopi dengan baik hingga bisa diekspor Eropa dan dijadikan komoditas unggulan dengan sebutan “Produk Masa Depan”, kini kopi Gayo memasuki masa paling suram dari sejarahnya. Bayangkan saja, kopi di dataran tinggi Gayo kini hanya dikelola oleh masyarakat sendiri. Disebut dengan perkebunan kopi rakyat, yang belum dikelola secara baik dan benar seperti dilakukan Pemerintah Belanda di jaman penjajahan.

Zainuddin, penduduk Wih Pesam Kecamatan Silih Nara Takengon. Sebagai petani kopo ia mengaku tak pernah sekalipun mendapat penyuluhan tentang bagaimana bertanam kopi yang baik, kecuali hanya mendengar, melihat, dan langsung mempraktekkan sendiri di kopi.

Sebagai ketua kelompok tani dari perusahaan asing Indocafco, Zainuddin merasa perhatian pemerintah maupun eksportir kopi terhadap petani tidak ada. Hetani hanya menjadi “sapi perahan” pemerintah dan eksportir, tapi keuntungan bagi petani tidak ada.

“Setingkat pelatihan saja untuk bertani kopi yang baik saja tidak pernah diajarkan. Konon lagi ada penyuluh perkebunan”, kata zainuddin. Karena pendapatan yang didapat sebagai petani kopi tidak seberapa, ia harus mencari kerjaan tambahan lainnya, misalnya sebagai kuli tani. Kini, Zainuddin juga menjadi pembeli kopi kecil-kecilan.

“Sebelum membeli kopi, anak saya yang kuliah terpaksa berhenti karena tidak ada biaya”, kata Zainuddin.

Kebanyakan petani kopi Aceh Tengah sangat minim pengetahuan tentang bercocok tanam kopi, perawatan, panen, paska panen. Konon lagi untuk memanagemen penjual dan penghasilan dari menjual kopi.

Pemda khususnya, Dinas Perkebunan tak ada perannya untuk memajukan petani kopi. Hanya mengambil retribusi dari pengusaha yang membawa setiap kilo kopi keluar daerah, dan inilah yang saat ini menjadi andalan PAD terbesar.

Penderitaan itu diperparah toke, baik toke besar dan kecil, karena seringkali kopi warga diambil atau dibeli toke dengan diutangkan dulu. Setelah toke pulang dari Medan menjual kopinya, barulah uang kopi petani dibayarkan. Pembayaran kopi bisa jadi sebulan kemudian.

Pengusaha asing yang menjual kalimat sakti “Kopi Organik’ di pasar dunia tentu akan mendapat pasar tersendiri dan mendapat fee organic dari berbagai asosiasi dunia. Tapi bagi petani yang tergabung dalam anggota petani organik dari eksportir kopi asing tersebut, ternyata tidak mendapat apa-apa, kecuali nama kelompok tani mereka dijual keluar negeri, bahwa sang eksportir punya anggota binaan.

“Kami tidak menerima fee organic yang katanya dibayarkan setiap enam bulan sekali. Dulu ada diberikan eksportir kopi alat-alat pertanian, seperti alas jemur dan lain-lain. Tapi kini tidak pernah lagi. Tidak ada untungnya menjadi anggota kelompok tani organik, kecuali kekecewaan dan janji kosong saja,” kata Zainuddin, salah seorang ketua kelompok tani organik.