Ike engonko kanang ilangit

tenenku sulit penyakit denem

Ikirimenpeh lembatah kelumit

Ken uak ni penyakit ariwasni beden

(Ade-ade didong yang sama lirik dan syair lagu dari Tekangon)

Didong meruapakan kesenian dua daerah yang seetnis, yaitu Gayo Lues dan Takengon, namun kesenian tersebut tidak sama dalam memainkannya, demikian juga isi dan pesan-pesan yang disampaikan kepada penonton.

Didong Aceh Tengah

Didong Takengon-Bener Meriah dimainkan oleh sejumlah pemain dengan menggunakan beberapa ceh didong (pembawa lagu-red). Posisi permainnya dengan melingkar dan mempergunakan alat bantu bantal sebagai alat untuk ditepuk untuk mengiringi irama syair.

Pesan-pesan yang disampaikan disesuaikan dengan tema yang akan ditampilkan. Dalam didong inti permainnya mengandalkan kemerduan suara, kelihaian merangkai kata-syair dan teka teki yang harus dijawab pihak lawan atau sebaliknya.

Hampir 75 persen desa yang ada di Takengon memiliki group didong. Kesenian ini dtampilkan dalam berbagai keperluan, mulai dari pesta perkawinan, sunat rasul sampai kepada pertandingan. Kesenian ini dalam perkembangannya telah mampu melanglangbuana sampai keberbagai daerah ditanah air, mereka terorganisir dan pembinaannya terus menerus dilakukan oleh pemerintah daerah.

Karena ceh maupun masyarakat Aceh tengah memiliki seni dan irama suara yang indah sehingga membuat kesenian daerah terbut bangkit dan digemari. Saat ini para seniman dataran tinggi itu bukan hanya mampu mengembangkan didong, tetapi merek mampu merelis lagu dan masuk dalam studio rekaman, kaset dan CD mereka sudah banyak yang beredar.

Didong Gayo Lues

Didong Gayo Gayo Lues berbeda dengan didong Takengon Aceh Tengah. Didong Gayo hanya dimainkan oleh dua orang Pegawe Didong (ceh_red). Masing peserta membawa pasukannya sampai satu desa rombongan yang terdiri dari pemuda dan pemudi.

Dalam melakukan didong kedua Pegawe Didong melakukannya dengan berdiri di atas selembar papap. Papan ini gunanya untuk menghentakan kaki pada saat berdidong yang disesuaikan dengan syair irama yang sedang dibawakan. Dipihak lain papan ini gunakan untuk melakukan Geridik (hentakan kaki dengan cepat dan berirama-red).

Para Pegawe didong selalu mekai kain panjang sebagai pembalut tubuh dalam menari, terkadang kain ini dijadikan lalat menari bagaikan sambar menyambar. Sementara di kepala Guru Didong dipakaikan Bulang Teleng (penutup kepala dari kain yang diputar-red), dan selalu diselipkan bunga di atas kepala.

Dalam syairnya ada beberapa macam model lantunan yang berbentu Sek (ratapan panjang berirama-red), sek inilah menentukan kemerduan suara para Guru Didong. Ada juga syair yang berisi pantun, teka teki, cerita dan nyanyian.

Ada beberapa tahapan dalam melakukan didong, terutama dalam menyampaikan syair-syair. Pertama Tabi Ni Didong (syair wajib pad permulaan melantunkan didong-red). Syair ini wajib dilakukan kedua Pegawe Didong secara bergantian. Tahapan berikutnya berupa syair-syair yang diselingi oleh Ade-Ade (sama dengan lirik dan irama kesenian Takengon-red), tahapan ini memberikan kesempatan kepada pasukan yang duduk di bawah untuk melantunkan syair-syairnya.

Inti dari didong ini adalah Mungune (teka teki-red). Teka teki ini dilakukan secara bergantian yang isinya hanya dua. Pertama membuka pertanyaan masalah syara’-agama dan kedua masalah adat istiadat. Apabila yang Pegawe Didong yang ditanyai bisa menjawab pertanyaan lawan, maka tidak dibenarkan menjawabnya langsung, tetapi harus melalui tahap Sidik (selidik-red) terlebih dahulu, demikian juga nanti sebaliknya.

Kelihaian Menyidik (meneyelidiki-red) pertanyaan inilah nantinya ditentukan kalah menangnya. Yang amat menentukan kalah menangnya pertandingan ini adalah para tokok adat yang telah ditunjuk untuk itu, karena tidak jarang pata pemain didong melakukan kecurangan bertanya atau menyelidiki pertanyaan yang ada. Disamping itu yang berhak memberhentikan pertandingan adalah Tetue Edet (tokoh adat).

Yang paling menarik dalam didong ini adalah setelah usai pertandingan Pegawe Didong disuguhkan makan bersama oleh yang punya hajatan. Setelah selesai makan mereka menjadi Serinen (saudara-red), dan hasil tekai-teki yang barusan mereka peragakan saling membuka jawabannya. Dan didong ini diperagakan semalam suntuk.

Kendala Didong Gayo

Berbeda dengan perkembangan didong di Aceh Tengah-Bener Meriah, disamping mereka berdarah seni tinggi, juga pembinaannya yang dilakukan secara rutin, para senimannya memiliki naluri yang tinggi dalam melihat situasi dan perkembangan zaman. Ketekunan, ketelitian, rajin dan gemar berlatih merupakan modal utama dalam mengembangkan didong di daerah tersebut.

Didong Gayo terkesan monoton dalam penampilannya sehingga dalam keberadaannya semakin hari semakin terkendala. Contoh, kenapa masyarakat Gayo Lues yang memiliki didong tersendiri lebih menyukai didong Takengon?, bukan ini pertanda bahwa didong Gayo sudah tidak menjadi tempat lagi dihati masyarakat Gayo itu sendiri?, lalu siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana nasibnya kedepan?.

Dalam pengembangan dan keberadaannya dimasa datang, kita tidak bisa saling menyalahkan. Modal awal yang terpenting adalah menghilangkan budaya malu yang selama ini tertanam dalam jiwa seniman Gayo Lues. Dipihak lain menghilangkan kesan bahwa seniman tidak bisa menghasilkan uang. Jika kedua penomena ini dapat dihilangkan maka sudah menjadi modal dasar dalam pengembangan didong di Gayo Lues.

Langkah-langkah

Untuk pengembangan didong Gayo dimasa mendatang ada beberapa langkah-langkah yang perlu mendapat perhatian semua pihak:

Pegawe Didong.

Mereka diharapkan dapat menghasilkan karya-karya syair yang baik. Inilah selama ini terkesan tidak mendapat perhatian sehingga membuat didong tersebut monoton. Pegawe Didong seolah telah siap pakai pada setiap kesempatan penampilan, sementara mereka kurang berlatih dengan group yang ada ditempatnya masing-masing, apa yang telah dimiliki selama ini tentang lagu-syair maka itulah yang selalu dilantunkan.

Seringnya Pegawe Didong dalam berdidong memakai Penyurak (penyorak-red) bukan pasukan sendiri sehingga keutuhan group tidak nampak. Dipihak lain akibat rendahnya rasa seni dan tidak terlatih membuat syair-syair yang ditampilkan sedikit kasar.

Syair wajib dalam didong yang memang sudah baku tidak bisa dirobah dan dipersingkat, karena itu isi makna dari didong sebenarnya, Syair wajib ini yang tercantum dalam permulaan melakukan didong, didalam syairnya tersimpan pesan-pesan agama dan adat.

Dewan Kesenian.

Lembaga yang paling berkompeten dalam pembinaan didong ini adalag Dewan kesenian Gayo Lues. Namun lembaga ini tidak bergerak untuk memikirkan kelangsungan seni didong di daerah ini. Keberadaanya hanya diketahui pada saat penggantian pengurus, selebihnya hilang dari permukaan.

Apabila dewan kesenian mampu bergerak, banyak hak yang bisa diupayakan dalam rangka pembinaan seniman-seniman didong itu sendiri. Sebagai kenyataan sekarang ini amat sulit mencari Guru Didong disetiap kampung, kalapun ada Guru Didong sekarang ini hanya itu-itu saja orangnya dimana sebelum mereka berdidong kita sudah mengetahui bagaimana penampilan mereka nanti, sehingga kita tidak berminat menontonnya.

Masyarakat.

Masyarakat diminta dalam setiap ada upacara hajatan menghindari mengundang didong dari Takengon. Kenyataan ini juga sering dikeluhkan oleh para Pegawe Didong. Mereka sering mengeluhkan pembayaran, kenapa didong dari Takengon mampu dibayar mahal. Menyangkut masalah ini merupakan evaluasi juga bagi Pegawe didong dan jadikan sebagai tantangang agar masyarakat menyukai didong Gayo.

Kalaulah kita mengurai benang kusut didong Gayo Lues, banyak hal yang harus dibenahi dan dilakukan, ini tidak bisa dilakukan kalau tidak secara bersama-sama dan punya komitmen tinggi dalam mengangkat keberadaan didong Gayo dimasa yang akan datang.

Sebagai rasa tanggung jawab atas kelangsungan masa depan didong kita belum ketinggalan jika kita kembali bertekad memulainya sejak sekarang. Sudah saatnya kita singsingkan lengan baju untuk mempertahankan asset kesenian daerah ini. Betapa ada beberapa jenis kesenian Gayo yang telah punah dari permukaan, seperti Kederen, sining bines, didong niet dan lain-lain.

Sumber: Alabaspos.com

Oleh Yusradi Usman Al-Gayoni *

Abdul Latif, demikianlah nama salah seorang pengarang, sekaligus ceh pada kelop (kelompok/grup Didong) Kebinet, Bebesen, Takengon, Aceh. Kelop ini terbilang kelop tua dalam dunia didong di tanoh Gayo. Didong sendiri merupakan seni yang memadukan puisi, gerak, dan vokal. Tanggal 21 November 2009, kebetulan penulis bertemu Abdul Latif, yang kerap disapa Atif, di salah tempat pangkas rambut di Kampung Simpang Pet, Kecamatan Bebesen, Takengon. Bagi masyarakat Bebesen dan Takengon, Latif merupakan salah satu ceh kul (ceh legendaries, dan cukup disegani). Penulis kerap mendengar namanya dari masyarakat. Namun, belum pernah bertemu, dan bercerita secara khusus soal didong, dan keterlibatannya di dalamnya.

Karenanya, kesempatan yang jarang terjadi tersebut, penulis manfaatkan untuk menanyakan soal keterlibatannya dalam, dan umumnya soal didong. Tatapan kosong Atif tertuju pada antrian mobil yang ada di bawah. Kami sendiri; penulis, awan (kakek) Dahlan, dan ama (bapak) Atif berada di tempat yang lebih tinggi. Tepatnya, di tempat pangkasnya awan Dahlan. Gerimis hujan, menjadikan tempat tadi bertambah dingin, terlebih-lebih saat angin dari arah kampung Bebesen berhembus. Memang, saat itu, dan sejak penulis berada di Takengon, hampir setiap hari, kota Takengon terus diguyur hujan. Dengan penuh penjiwaan, keluar-lah suara yang kurang terdengar begitu jelas dari mulut Atif. Namun, penulis bisa menangkap warna, makna, dan pesan di balik suara tadi. Percakapan hangat pun berlangsung, saat guk khas Atif keluar. Sementara itu, awan Dahlan pun larut memangkas rambut penulis. Penulis lebih banyak diam, dengan sesekali bertanya, sembari mendengar guk puisi-puisi yang dilagukan, dan memperhatikan raut wajah, tambah bahasa tubuh Atif.

Atif yang sehari-hari berkerja sebagai toke kopi, memulai didong sejak tahun 1965. Pada saat itu, selain mencipta, Latif sudah menjadi ceh. Suara Latif begitu khas, “merdu” dan enak di dengar. Begitulah harusnya seorang ceh didong di tanoh Gayo. Selain mampu menciptakan lirik didong (puisi), seorang ceh harus memiliki suara yang bagus, dan mampu membawakan lirik-lirik tadi (menjadi vokalis didong). Namun, dewasa ini, kata Atif, banyak ceh yang tidak memenuhi syarat. Lebih banyak ceh-ceh-han. Umumnya ceh sekarang, hanya mampu membawakan lirikan didong. Itu pun karya ceh lain, yang sudah kerap dibawakan dalam didong, atau lagu. Belum lagi, suara-nya yang pas-pas-san. Ceh yang ada sekarang cenderung memaksakan diri, asal disebut ceh. Banyak ceh tidak lagi mampu mencipta, terlebih lagi dengan kandungan nilai-nilai, dan filsafat sastra Gayo yang tinggi. Enti mu lelang empus si nge lapang, kata Atif sambil tertawa. Artinya, jangan membersihkan rerumputan (yang ada di) kebun yang sudah lapang. Sebaliknya, harus mampu menciptakan karya sendiri, tidak plagiat, dan tidak mengklaim karya orang lain jadi milik sendiri.
Bagi Atif, didong harus mampu menjadi sarana pemersatu, dalam menciptakan harmoni sosial di tanoh Gayo, dan Aceh. Bagaimana mau harmoni, dalam perkembangan didong, ceh dan kelop didong sekarang, saling membuka aib. Bahasa yang digunakan, juga bahasa yang “vulgar,” langsung, dan cenderung kasar. Ceh sudah jarang yang berfilsafat, menggunakan filsafat bahasa, bahasa yang santun, dan tidak lagi memakai simbol-simbol. Dalam dunia didong, hal tadi terkandung dalam tamsil, dan ibarat. Begitulah pegeseran nilai, norma, dan budaya dalam didong, dan umumnya budaya orang yang berdiam di tanoh Gayo.

Selanjutnya, didong harus mampu bertindak sebagai sarana pembangunan “pencari dana sosial” (meminjam istilah Melalatoa). Ingatan penulis langsung tertuju pada “Mesejit Mutelong” (Masjid Terbakar), salah satu karya Abdullah Mongal, yang lebih dikenal dengan sapaan Gecik Tue Mongal. “Mesejit Mutelong” ini mengisahkan terbakarnya Mesjid Bebesen (sekarang Mesjid Besar Quba Bebesen yang ada di Takengon), yang dibakar anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), 21 Juli 1965. Ketika itu, pencarian dana pun dilakukan Kelop Kebinet di berbagai tempat di Takengon (termasuk Bener Meriah). Atif sendiri bertindak vokalis, yang dipercayakan membawakan lagu ini. Penonton tak mau ketinggalan, berduyun-duyun menyaksikan pementasan Atif, dan Kelop Kebinet dari kampung Bebesen, sambil bersedekah. Mesejit Mutelong ini begitu menggugah, menyetuh rasa, dan mendorong masyarakat Bebesen khususnya, umumnya masyarakat Takengon, bahkan sampai ke luar daerah, untuk terlibat langsung dalam rekonstruksi, dan rehabilitasi masjid, dan masyarakat Bebesen melalui berbagai bentuk donasi yang diberikan kala itu.

Fungsi yang kedua ini yang sudah jarang diperankan dalam sejarah didong kontemporer di tanoh Gayo. Pementasan terakhir (sepetahuan penulis), dalam bentuk didong jalu (bentuk didong yang dipertandingkan), berlangsung tanggal 21 November 2009 lalu, antara Kelop Sebaya Bujang, dengan ceh-nya Ikhwansyah, dari Kabupaten Aceh Tengah dan Kelop Meriah Dama, dengan Arifin Muslim yang juga bertindak sebagai ceh, dari Kabupaten Bener Meriah. Pementasan ini bertujuan untuk menggalang dana dalam pembangunan Gedung Laboratorium Micro Teaching Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Gajah Putih Takengon, yang lantai dua-nya digunakan untuk Lembaga Penelitian dan Pengembangan, sekaligus dipakai untuk Lembaga Pengabdian Pada Masyarakat.

Terakhir, bagi Atif, kesenian tradisional Gayo ini harus mampu menjadi sarana kemajuan. Kemajuan yang dimaksud tidak sebatas pembangunan fisik, melalui penggalangan dana, melainkan non-fisik, baik dalam pembentukan pola pikir, pola sikap, maupun pola tindak yang “sehat,” dan baik. Kemudian, ceh, melalui karya, dan kelop didong, harus mampu memperkenalkan tanoh Gayo ke luar. Akibatnya, masyarakat luar, tahu potensi yang dimiliki tanoh Gayo. Pada akhirnya, mereka akan berinventasi ke daerah Gayo. Dengan begitu, akan tercipta kesinerjisan dalam pembangunan tanoh Gayo, baik ceh, rakyat, berbagai elemen masyarakat dengan masing-masing potensi yang dimiliki, pemerintah, dan pihak luar.
Dalam amatan penulis, Atif tidak lagi aktif berdidong seperti awal-awal keterlibatannya. Keterlibatannya dalam didong lebih karena pergaulan sosial. Dengan kata lain, Atif tidak menggantungkan hidup sepenuhnya pada didong. Kekurang-aktifannya dalam didong belakangan, dan dewasa ini, karena kurangnya penghargaan kepada ceh-ceh. Para ceh dan kelop didong diperlukan hanya untuk saat, dan keperluan tertentu. Setelah itu, para ceh, dan kelop didong “dicampakkan” begitu saja. Tak jarang, karya ceh banyak yang digubah, “diambil” ceh, atau pihak lain, dengan sengaja, dan tanpa izin “di curi.” Begitu juga dengan pemerintah, yang masih kurang menghargai ceh, terutama yang berkenaan dengan ekonomi ceh “kelangsungan hidup.” Akibatnya, ceh tak mampu fokus, dan total dalam mencipta, dan ber-didong, karena benturan perkara dapur. Umumnya, memang masih belum ada pembangunan kebudayaan, termasuk di dalamnya pembangunan sejarah, dan pembangunan pendidikan yang jelas, tepat, terarah, dan berkelanjutan di tanoh Gayo, khususnya di Takengon. Semua dibiarkan berlalu, dan hilang tanpa ada sentuhan, dan upaya penyelamatan. Walaupun, dewasa ini pergeseran nilai, norma, dan budaya masyarakat Gayo terjadi begitu deras.

Begitulah gambaran kecil pemikiran, dan kontribusi Atif selaku ceh dalam dunia didong di tanoh Gayo, Aceh, khususnya di Takengon dan Bener Meriah. Begitu pula ceh, dan kelop didong lainnya. Keberadaan mereka tutur berkontribusi bagi perkembangan daerah. Sumbangsih pemikiran, dan peran serta ceh dalam didong, berhasil membentuk konstruksi, dan harmonisasi sosial, serta berbagai kemajuan yang dicapai di tanoh Gayo. Bahkan, didong telah pula mengenalkan tanoh Gayo ke dunia luar. Alhasil, melalui didong, nahma, derajat, dan marwah daerah ini, Takengon, tanoh Gayo, dan Aceh turut pula terangkat.

*Pemerhati Kebudayaan Gayo, Mahasiswa Pascasarjana Linguistik Konsentrasi Ekolinguistik Universitas Sumatera Utara (USU) Medan

Oleh Yusra Habib Abdul Gani

Konfigurasi gerak tari Saman, selama ini dipahami orang sebagai kreasi seni tari biasa. Tak hanya bisa dimainkan orang Gayo dalam bahasa Gayo, tetapi juga bisa dipentaskan oleh siapa saja dan dalam bahasa apa saja. Ini kesalahan fatal sekaligus pelecehan terhadap missi dari Saman itu sendiri. Tari sejuta tangan ini tidak bisa dicerna dan dihayati, sekiranya tidak memahami keseluruhan gerak yang diperagakan. Saman adalah tari yang mengandung konsep jihad yang disimbulkan lewat irama dan gerak. Dari komposisi, sjèh (pemimpin) atau disebut juga ‘Pengangkat’ mesti duduk di tengah para pemain yang jumlahnya ganjil (13, 15 atau 17 orang). Sjèh bukan remote untuk menggerakkan orang lain beraksi, tetapi sosok pemimpin yang mesti sinkron dengan aturan main; memimpin sekaligus menjadi orang yang dipimpin. Tari Saman tidak menghendaki terjadi: “Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sementara kamu mengelakkan diri…” (Q: Al-Baqarah, ayat 44).

Karena tari ini dimainkan dalam bentuk group, maka sjech bukan tokoh tungggal yang dikultuskan. Dia didampingi oleh ‘Pengapit’ (staf) sebelah kiri dan kanan yang berperan membantu gerak maupun syair. Jadi, tari Saman, menolak falsafah ‘individualism’, dan menganut penegakan ‘colletivism’. Kebersamaan harus disokong dan diperkuat oleh tiang penyangga antara sesama anggota. Karena itu, dipasang ‘Penupang’, yang posisinya berada di sisi paling kanan dan kiri. Peranan ‘penupang’ disifatkan sebagai akar tunggang rumput “jejerun” (bahasa Gayo), sebagai simbol kekokohan. Komitmen “Bersatu teguh, bercerai rubuh.” maka jangan ada satu pun anggota yang membuat kesilapan dan kesalahan gerak. Karena akan berimbas dan menghancurkan seluruh gerak dan irama. Jadi, sinkronisasi gerak dan persamaan perasaan sangat diutamakan. Ini berarti, pemimpin baik dalam situasi revolusi atau damai, harus berada di tengah-tengah masyarakat, tidak merasa dirinya sebagai tokoh tunggal, akan tetapi sebagai bentuk kekuatan kolektif yang ditopang oleh jamaah.

Tari Saman dimulai dengan gerak “Rengum”, yakni: suara ngauman dipimpin oleh syèh, senyawa dengan ucapan “salam”. Pada tahap ini, terdengar suara magic berdengung, mengalun bersama ayunan tubuh yang lentur dalam posisi ‘berlembuku’ rapat membujur membentuk garis horizontal, sambil melafadhkan kalimah:

“Hmmmm laila la ho

Hmmmm laila la ho

Hmmmm tiada Tuhan selain Allah

Hmmmm tiada Tuhan selain Allah”

Nada dan gerak “rengum” adalah ‘kasat, ‘takrat’ dan ‘takyin’ untuk memulai tari, agar masing-masing peserta memusatkan kekuatan (concentration). Atasnama kalimat tauhid inilah gerak group bermula. “Rengum” diucapkan dalam suara minor yang mampu menggetarkan jiwa-jiwa yang mati dan perasaan kuyu menjadi garang. Kalimat tauhid ini sengaja disisipkan sjèh Saman (tokoh penemu Saman) sebagai missi jihad dan dakwah Islam lewat tari Saman yang sebelumnya diperankan dalam “Pok Ane-ané” (permainan rakyat yang dimainkan secara bebas). Keseragaman dalam gerak “rengum”, bagaikan sebilah pedang Samurai yang sudah diisi dengan kalimat tauhid untuk melakukan berapa varian gerak berikutnya. Gerak ini menukar rasa ke-aku-an (individualism) kepada rasa ke-kami-an dan akhirnya wujud rasa ke-kita-an (collectivism) dan melarutkan diri masing-masing ke dalam lautan gerak dan irama hidup. Mereka layaknya seperti pasukan lebah menyerang, dimana sang ratu lebah tidak nampak; semua penari adalah komandan dan anak buah. Inilah yang disebut “ratip sara anguk, nyawa sara peluk” (“ratip satu angguk, nyawa satu peluk”). Dalam falsafah Aceh dikatakan: “hudép beusaré, maté beusadjan, sikrék kapan saboh keureunda”. Gerak “rengum”, selain dikenal dalam Saman, terdapat juga dalam pengantar mantra doa untuk menghidupkan ‘pedang berkunci’, yaitu: alat perang yang khas di tanah Gayo. Inilah proses pengenalan diri dalam jiwa masing-masing.

Tahap kedua adalah gerak “Dering”, yaitu: varian gerak yang dimainkan oleh semua penari. Gerak ini diantarkan oleh irama ‘Ulu ni lagu’ ( ‘kepala lagu)’. Para penari akan memasuki tahap memperagakan pelbagai ragam gerak. Proses perubahan dari gerak “rengum” kepada “dering” hanya berlangsung dalam seketita saja. Setelah dirangsang oleh suara syèh, secara perlahan-lahan penari memperagakan variasi gerak tangan, menepuk dada, gesekan badan dan putaran kepala. Pada peringkat ini, suara dan gerakannya masih datar dan lamban.

“Dering” adalah sylabus pengajaran kepada masyarakat yang berbeda tingkat kesadaran, pengetahuan dan pemahaman; tidak ada unsur paksaan, disuarakan dalam bahasa asli (Gayo) yang sopan dan jelas. Barulah kemudian, syèh mengalunkan suara melengking, sekaligus memberi aba-aba akan memasuki tahap gerak cepat. ‘Warning’ itu berbunyi: “Inget-inget pongku male i guncang” (“Ingat-ingat teman akan diguncang”). Inilah klimaks gerakan tari saman, dimana penari secara optimal mengetengahkan varian gerak putaran kepala yang mengangguk (girik), tangan yang menepuk dada dan paha maupun gerakan badan ke atas-bawah, miring ke kiri-kanan bersilang (singkéh) maupun petikan jari (kertèk). Di sini tidak terdapat lirik, irama dan suara. Sepenuhnya aksi. Di tengah kemucak itu, tiba-tiba menyusul gerak “Uak ni kemuh” (“obatnya gerak”) atau gerak neutral yang disenyawakan dengan nada minor yang datar. Saat stamina penari pulih semula, aksi gerak cepat beraksi kembali. Inilah tahap kesaksian dan pengenalan fakta yang disaksikan dengan mata kepala sendiri.

Tahap ketiga adalah: gerak “Redet”. Menampilkan lagu dalam lirik singkat dan jelas. Ianya pesan singkat yang harus didengar sambil menanti arahan selanjutnya. Pengkabaran (informasi) agar orang tahu persis akan pesan yang disampaikan. Yang berarti, manusia adalah pelaku dari informasi yang didengarnya!

Tahap keempat adalah: gerak “Syèh”. Menyampaikan warkah. Pada peringkat ini, syèh mengalunkan lagu dengan suara tinggi melengking dan panjang, sebagai aba-aba akan terjadi pertukaran gerak. Inilah kiat dari roda kehidupan manusia yang sarat dengan perubahan. Penciptaan dan penghancuran; penjajahan dan kemerdekaan; kekayaan dan kemiskinan; kehidupan dan kematian.

Tahap kelima (terakhir) adalah: gerak “Saur” atau penutup. Gerak ini adalah pengulangan bunyi reff yang disuarakan syèh oleh seluruh penari. Ini mengisaratkan tentang bay’ah massal, dedikasi, setia dan taat kepada pemimpin. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa: “Rengum” adalah kesadaran, kesaksian dan komitmen; “dering” berarti introspeksi, pengenalan, pengajaran dan kesopanan; “Redet” adalah pesan singkat, nota penting dan harapan; “Syèh” ialah seruan umum, imamah dan tanggungjawab dan “Saur” yang berarti pernyataan kesetiaan, dedikasi dan kekompakan.

Keseluruhan variasi gerak Saman seperti: guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua bahasa Gayo) adalah refleksi dari pesan-pesan, hanya saja orang acuh dan hanya terpaku dengan geraknya. Saman bukan konsep hijrah dan menyerang (ofensive) melainkan konsep bertahan (defensive). Di sini dibuktikan bahwa, refleksi ruh tari Saman terpantul dalam perang melawan Belanda di Kuta Rèh, Penosan, dll tahun 1907. Ketika pasukan Van Dallen merambah masuk ke Gayo Luwes; hanya orang yang sudah melewati “rengum”, “dering”, “Redet”, “Syèh” dan “Saur” saja yang bersabung dengan serdadu Belanda. Selebihnya: anak-anak, perempuan dan lekaki tidak menyelamatkan diri ke dalam hutan. Mereka membentuk gerak Saman dengan cara merapatkan shaff (ingat: barisan penari Saman yang membentuk garis horizontal) dan mengurung diri dalam satu kawasan yang dipagar dengan babu runcing. Tidak mau bergeming. Inilah sumpah tentang: tanah, negara dan kehormatan. Di atas yang bertuah ini kami lahir dan mati dengan darah. Darah adalah rahasia! Dalam konteks ini, Van Dallen berkata: “sepanjang sejarah penaklukan bangsa-bangsa lain, belum pernah kami mendapati orang yang begitu berani dan fanatik, kecuali: orang Gayo.”

Orang Gayo hanya tahu mempertahankan diri, bukan melarikan diri. Itu sebabnya, semasa perang melawan Belanda, mereka tidak menyelamatkan diri ke luar Aceh. Bagaimana aplikasi jiwa Saman dalam situasi sekarang? Haruskah mengisolasi diri dalam pagar “kuta Rèh”?, No! Saatnya orang Gayo Lues menyatukan diri dalam kebulatan tekad dan suara untuk menentukan nasib masa depan Daerah ke arah yang lebih maju dan gerak Saman perlu ditafsirkan semula dalam konteks kehidupan ke-kini-an kita. Insya-Allah!

* Penulis adalah Director Institute for Ethnics Civilization Research

Sumber:  serambinews.com, 22 November 2009

Oleh Win Ruhdi Bathin

Takengon- Sulit mencari kata yang tepat tentang status kepemilikan Danau Lauttawar yang terletak di jantung Aceh. Artinya, siapa yang paling bertanggungjawab atas kelestarian danau dari ekploitasi , penggunaan air oleh empat kabupaten di Pesisir, Bireuen, Kota Lhokseumawe, Aceh Utara dan Bener Meriah.Dan upaya mempromosikannya agar dikenal di Tingkat Nasional bahkan global di dunia.

Jawabannya tidak ada. Danau Lauttawar diakui secara resmi dan dikelola Pemkab Aceh Tengah. Tapi tidak ada sebuah peraturan daerahpun atau qanun untuk melindungi dan melestarikan danau. Padahal Pemda punya perangkat hokum dan berkuasa.Bahkan ratusan milyar dana setiap tahunnya.

Aneh bin ajaib memang. Tidak ada visi dan misi yang jelas tentang Danau. Pemerintahan daerah modern seperti saat ini yang dikelola oleh sumber daya manusia bergelar ilmiah strata dua yang bejibun, tapi tidak ilmiah mengelola asset daerah berupa alam yang indah.

Kondisi danau kini jadi lahan proyek. Dibuat tanggul yang awalnya direncanakan untuk menyelamatkan danau namun kemudian dianggap masyarakat sebagai jalan dan dan bebas membangun apa saja yang intinya mempersempit danau dan mencemarinya. Semua serba bebas tanpa aturan, acuan dan larangan. Siapa saja bebas ekploitasi asal ada uang.

Lihatlah bagaimana dasar danau dari Kampung Bale Kecamatan Luttawar hingga Uning Kecamatan Pegasing dijadikan areal pembuangan sampah secara bebas oleh warga dan memenuhi dasar Daerah Aliran Sungai.

“Jika Danau Toba diakui sebagai milik Sumatera Utara, Danau Lauttawar Takengon hanya diakui milik Kabupaten Aceh Tengah, bukan milik Aceh”, kata H.Zulkifli, anggota DPRD Aceh Tengah, dari Partai Gerindra, Sabtu (31/10) dalam sebuah diskusi di kantor Dewan Kesenian Aceh Tengah di Lentik Kebayakan.

Itulah faktanya. Danau yang berada pada ketinggian 1200 Dpl dengan ikan endemic ikan depik (rasbora tawarensis) dan ikan kawan belum diakui sebagai milik Pemerintah Provinsi Aceh. Sementara Pemdapun masih memandang danau sebelah mata.

Ir Mursyid, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) secara mengejutkan mengungkapkan fakta terbaru , di tingkat nasional, Danau Lauttawar belum terdaftar di kementerian Pariwisata. Juga di Lingkungan Hidup.Tidak terdaftar di Sumber Daya Air. Lengkaplah sudah. Jadi peran Dinas terkait yang diberi tugas dan mobil dinas, masih disibukkan mengurus diri mereka sendiri dan mutasi-mutasi.

“Lobi Pemda di tingkat Aceh dan Nasional sangat lemah sehingga Takengon tidak dikenal “, kata Mursyid dari DPD. Menurut Mursyid, pemanfaatan Danau oleh Pemkab Aceh Tengah dan masyarakat hanya 15 persennya saja.

“80 persen lainnya dimanfaatkan oleh Kabupaten Bireun, Aceh Utara , Kota Lhokseumawe ,PT.Arun dan sejumlah perusahaan lain di Aceh tanpa kontribusi apapun bagi Aceh Tengah”, kata Ir.Mursyid kecewa.

“Untuk itulah, sudah saatnya kita promosikan daerah kita. Siapa lagi yang promosikan kalau bukan kita. Untuk itulah digagas Otorita Danau Lauttawar”, kata Mursyid, yang melakukan kunjungan kerja ke Aceh bersama anggota DPR RI asal Aceh dan berkesempatan pulang ke Takengon.(win)

Oleh Khalisuddin

6 Nopember 1908, 101 tahun lalu, Cut Nyak Dhien yang paling ditakuti penjajah Belanda berpulang ke Rahmatullah di negeri pengasingan yang nan jauh dari Aceh saat itu, Sumedang Jawa Barat.

Seseorang yang pernah sangat dekat dengan pemilik julukan “Ibu Perdu” ini, dalam perannya sebagai Panyair dalam film dokumenter bertajuk Cut Nyak Dhien, Ibrahim Kadir sang Penyair, putra Gayo yang lahir dan besar di Takengon merasakan layaknya ikut berperang dengan penuh heroik membela agama dan kehormatan jengkal demi jengkal tanah Aceh melawan Belanda kafir bersama Cut Nyak Dhien. Penyair, adalah nafas sebuah perjuangan rakyat Aceh. Ibrahim Kadir sangat bangga dan beruntung pernah menjadi orang kepercayaan Cut Nyak Dhien walau hanya dalam sebuah episode film.

Sangat beruntung, Ibrahim Kadir sang Penyair ternyata tidak begitu sulit di cari. Mengisi hari-hari tuanya, sang penyair dipercayakan menjadi tampuk pimpinan pembangunan Masjid Babussalam Kemili kabupaten Aceh Tengah. setiap waktu shalat wajib tiba, dipastikan Ibrahim ada bersama jama’ah masjid tersebut.

Assalamu’alaikum, ucap kami kepada seorang lelaki tua berpakaian biru dengan peci hitam dikepala yang duduk sendiri di teras Masjid Babussalam Kampung Kemili Kecamatan Bebesen Aceh Tengah, Kamis (5/11) sore. “Wa’alaikum salam, waktu belum masuk waktu ashar, kalau belum wudhu’ silahkan disebelah sana tempatnya,” jawab lelaki tersebut ramah.

“Iya Ama, sebenarnya kami ingin ngobrol dengan Ama,” kata teman yang bersama saya, Munawardi, seorang pemerhati sejarah Gayo di Aceh Tengah. Ama, bahasa Gayo yang berarti bapak.

Pria pemegang peran Penyair dalam film Cut Nyak Dhien yang diproduksi tahun 1988 dan menjadi film terbaik di piala Citra, ajang penjurian perfilman nasional di tahun yang sama. Film yang disutradarai Eros Djarot tersebut juga menjadi film pertama Indonesia yang ditayang di festival film Chanes Prancis tahun 1989.

Diawali dengan perkenalan dan menguatarkan maksud pertemuan, sesaat kemudian kami hanya mendengar penuturan seniman gaek ini. Dari cara bercerita, Ibrahim Kadir tampak sangat menjiwai perannya dan masih sangat ingat semua yang dialami saat melakoni Penyair dalam film bergengsi tersebut.

Tanggal 6 Nopember, apakah bapak ingat sesuatu ? sesaat pria tersebut tercenung seperti mengingat-ingat sesuatu.
“Aduh, saya ingat. Besok 6 Nopember adalah hari wafatnya Cut Nyak Dhien,” jawab Ibrahim Kadir dengan wajah yang tiba-tiba cerah bersemangat. “Saya sang penyair yang mengumandangkan Allahu Akbar dan menyanyikan Hikayat Prang Sabi untuk membakar semangat pejuang Aceh untuk melawan Ulanda Kape. Saya pernah bertengkar dengan Pang Laot. Saya katakan kepada dia “Hei Panglima Laot!, Dengan senjatamu kamu tidak akan bisa usir Kafir Belanda dari Aceh. Tapi dengan syair-syairku kafir-kafir itu akan tunggang langgang hengkang dari Aceh.”

Apa tugas dan fungsi Penyair dalam perang Aceh ?
Para Panglima boleh mati, akan tetapi penyair tak kan pernah mati. Saat Cut Nya’ Dhien dan para pejuang kelihatan lemah dan turun semangat, serta merta penyair hadir untuk kumandang Azan dan mengaji, dendangkan hikayat Perang Sabi dan pekikkan Allahu Akbar. Ketauhidan para pejuang dan rakyat Aceh yang membuat Kafir Belanda tidak bisa menaklukkan Aceh.

Lalu apa syair yang paling berkesan bagi Bapak ?
Cut Nyak Dhien pernah bertanya kepada saya. Penyair, apa syair yang paling indah ?, saya menjawab Allahu Akbar. Itulah syair yang terbaik di jagat raya ini.

Bagaimana Bapak melihat sosok Cut Nyak Dhien ?
Walau perempuan, Cut Nyak Dhien sangat kuat dan siap berperang lahir dan bathin karena dia adalah sosok yang bersih, imannya kuat. Belanda bisa kuasai raganya akan tetapi takkan pernah kuasai ketauhidan Cut Nyak Dhien serta seluruh rakyat Aceh.

Bagaimana perasaan Bapak saat ikut ambil peran dalam film Cut Nyak Dhien ?
Wah…sangat istimewa, saya seperti berada dalam kejadian sesungguhnya, apalagi saat film tersebut sudah jadi dan diputarkan. Tak terkatakan perasaan saya saat melihat acting saya dalam film tersebut. Saya tak percaya bahwa itu saya.

Bagaimana bisa terpilih sebagai actor ?
Aneh bin ajaib, suatu mu’jizat dalam hidup saya. Saya bertemu Eros Djarot dan kawan-kawan di Hotel Renggali Danau Laut Tawar Aceh Tengah. Saat itu, saya sebagai pelatih Didong yang dipertunjukkan kepada para insan film nasional tersebut. Sebelumnya saya tak kenal Eros Djarot, Christine Hakim, Slamet Rahardjo, Pietrajaya Burnama dan lain-lain. Eros menanyai saya, kita mau buat film Cut Nyak Dhien dan sedang cari pemain untuk Penyair. Apakah bapak bersedia datang ke Sigli ikut di tes dengan peran Penyair ?. Saya menjawab seadanya, bersedia.

Kira-kira satu bulan kemudian, Sekda Aceh Tengah yang dijabat M. Syarif menghubungi saya untuk ikuti tes di Sigli. Kepada Sekda tersebut saya jawab, saya tidak usah ikut, dan tak mungkin lulus. Saya juga tidak punya uang untuk ongkos. Sekda tetap memaksa saya, lalu saya diberi uang, cukup untuk ongkos PP dan makan satu hari. Kalo tidak lulus, harus langsung pulang ke Takengon.

Saya kemudian berangkat seadanya tanpa bawa perlengkapan pakaian. Saya hanya penuhi permintaan Sekda untuk ikut. Tiba di Sigli persis pukul 5 sore. Saya kaget, ternyata Eros Djarot, Slamet rahardjo, Christine Hakim, Pietrajaya Burnama. LK Ara juga sebagai peserta dan puluhan peserta lainnya sudah ada disana. Sesaat kemudian Eros Djarot langsung menuyuruh baca naskah film. Sebentar, sekitar 5 menit dan langsung di tes. Keinginan saya hanya ingin proses tersebut segera berlalu dan langsung pulang ke Takengon. Saya tak baca naskah tersebut dengan baik dengan alasan sebagai orang Aceh sudah faham sejarah Aceh.

Lalu apa yang ditanya Eros Djarot ?
Sebagai rakyat Aceh, bagaimana sikap rakyat Aceh saat melawan Belanda. Saya jawab, ini film Aceh bukan film Jawa, tentu tidak sama. Kalau orang Jawa menyapa tamu, singgah Mas, mau kopi ? silahkan diminum, dan lain-lain. Intinya, Jawa sangat ramah dan lemah lembut. Dan karena sikap seperti itu Jawa bisa dijajah hingga 350 tahun.

Nah kalau di Aceh, orang asing yang datang akan ditanya, so nyoe !, dari pane ?, na Assalamu’alaikum ? Han. Cang laju. Karena orang Aceh seperti itu maka Belanda tak berkutik di Aceh.

Eros kelihatan kaget, dan bertanya kepada rekan-rekannya. Nah, anda lihat, anda lihat. Itu orangnya.
Saya bingung, kenapa dan ada apa dengan saya . Eros kemudian katakan “selesai”. Saya betul-betul bingung saat itu. Apalagi setelah Eros katakan hasil testing diumumkan di Anjungan Mon Mata Banda Aceh. Saya tidak punya uang dan hanya bawa pakaian di badan.

Tak hilang akal, saya melobi LK Ara, jika saya tidak lulus maka LK Ara beri ongkos pulang ke Takengon. LK Ara setuju. Dan jadilah saya ke Banda Aceh.

Setibanya di Anjungan Mon Mata, saya tidak percaya diri untuk masuk. Saya bersama rekan seniman asal Gayo di Banda Aceh, Mursalan Ardy mengobrol saja diluar gedung. Saya tidak tahu jika seluruh pembesar dan tokoh-tokoh Aceh sudah berada di dalam Anjungan. Dari Ahli Adat, Gubernur Ibrahim Hasan, Kapolda Aceh Abullah Moeda, petinggi meliter, para rektor perguruan tinggi dan lain-lain.

Saya sama sekali tidak ikuti prosesi acara tersebut, termasuk saat Eros berpidato dan melaporkan hasil tes actor kepada para undangan yang hadir. “Semua pemeran untuk film Cut Nyak Dhien sudah lengkap. Untuk peran Teuku Umar, Slamet Raharjo, Cut Nyak Dhien oleh Christine Hakim, Pang Laot Pietrajaya Burnama, sebagai Nyak Bantu Rita Zahara. Untuk pemeran Penyair yang menembangkan Hikayat Perang Sabi membangunkan semangat perang rakyat Aceh sudah didapat, yakni dari “Jantungnya Aceh, Tanah Gayo” yakni Ibrahim Kadir.

Para pemeran terpilih dipersilahkan maju ke depan para undangan. Lalu, saat nama saya dipanggil, saya tidak dengar karena saya berada diluar. Sampai seseorang berteriak berulang-ulang, mana Ibrahim Kadir. Saya menjawab, hadir, ada apa ?. Orang itu meyuruh saya masuk. Akan tetapi malah saya spontan jawab, untuk apa ?.

Rekan saya, Mursalan menegur, tidak baik bersikap seperti itu, ayo masuk, ajak Mursalan. Saat berada di pintu Anjungan, Eros menunjuk, itu Ibrahim Kadir, kamu lulus. Saya bingung dan spontan menjawab, Lulus Apa ?.

Kemudian saya minta pengumunan diulang. Belum lagi selesai Eros mengulang pengumunan, Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan mendatangi saya yang masih tetap berdiri di depan pintu. “Ibrahim dari Gayo Aceh Tengah, ke depan kamu,” kata Ibrahim Hasan.

Di depan, saya kemudian dipeluk Ibrahim Hasan sambil berpesan, Bawa nama Aceh, kamu salah satu yang lulus jadi pemeran penting dalam film Cut Nyak Dhien, yakni sebagai Penyair. Gubenur kemudian menyelipkan Rencong Emas ke pinggang saya. Saya menangis terharu. Ibu Gubenur juga ikut-ikutan beri amanah, sebagai putra Aceh saya harus bawa nama Aceh.

Lalu bagaimana dengan rival-rival bapak ?
Hehehe., yang lucu sahabat saya, LK Ara yang mengaku sudah tiga bulan menyiapkan diri untuk terpilih sebagai pemeran Penyair akan tetapi tidak lulus. LK Ara ucapkan selamat kepada saya, tapi sambil berkata, ongkos pulang ke Takengon yang dijanjikan dibatalkan. Saat itu, diantara tangis kami tertawa terbahak-bahak.

Jadi untuk pemeran yang termasuk utama hanya bapak yang dari Aceh ?
Kalau melalui tes resmi iya, tapi ada seorang anak yang berperan sebagai Agam, pemerannya Kamaruzzaman asal Sigli dan sekarang bekerja di Jakarta. Khusus untuk cerita anak ini, saya bingung, sebenarnya anak siapa dia ?, benarkan keponakan Cut Nyak Dhien ?.

Perkiraan saya, anak tersebut adalah anak korban syahid kekejaman Belanda di Tenge Besi Kabupaten Bener Meriah sekarang. Dari tiga orang yang dibuang Belanda ke Sumedang, anak itu adalah salah satunya. Anehnya, tidak adanya catatan sejarah kemana anak itu pergi setelah Cut Nyak Dhien wafat di Sumedang.

Pembicaraan kemudian berakhir seiring dikumdangkannya Azan pertanda waktu Ashar sudah tiba.

Oleh Khalisuddin

Takengon – Hari ini, 7 Nopember 2009 dalam seorang anggota milist berbasiskan komunitas Gayo, arigayo@yahoogroups.com mengucapakan selamat ulang tahun kepada Kabupaten Aceh Tengah. menurut pengirim ucapan selamat tersebut tanggal 7 Nopember adalah hari jadi Kabupaten yang bermaskot Danau Laut Tawar tersebut.

Pendapat ini didasarkan pada lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No.7/DRT Tahun 1956 tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam Lingkungan Daerah Provinsi Sumatera Utara dan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia No. 58 Tahun 1956 tanggal 7 Nopember 1956. Akan tetapi dari informasi yang dikumpulkan di Takengon, tak ada aktivitas masyarakat dan Pemda setempat untuk merayakan jika memang benar 7 Nopember merupakan Hari Ulang Tahun (HUT) kabupaten yang berjulukan kota BERLIAN (Bersih, Lestari, Indah dan Nyaman) ini.

Ternyata banyak versi terkait hari jadi Aceh Tengah, pertama menurut Oendang-oendang No. 10 tahoen 1948 dan dikukuhkan kembali menjadi sebuah kabupaten pada tanggal 14 November 1956 melalui Undang-undang No. 7 (Drt) Tahun 1956 dengan wilayah meliputi tiga kewedanaan yaitu Kewedanaan Takengon, Gayo Lues dan Tanah Alas.

Selanjutnya pada 1974 Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Aceh Tenggara melalui Undang – undang No. 4 Tahun 1974. Pemekaran Kabupaten Aceh Tengah kembali terjadi. Pada 7 Januari 2004, Kabupaten Aceh Tengah dimekarkan menjadi Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan Undang -undang No. 41 Tahun 2003. Kabupaten Aceh Tengah dengan ibukota Takengon, sementara Kabupaten Bener Meriah beribukota Simpang Tiga Redelong.

Bila mengacu kepada masa jabatan Bupati pertama Kabupaten Aceh Tengah yang dipangku Abdul Wahab dengan masa jabatan 1945-1949, maka bila bicara kapan hari jadi Aceh Tengah tentu tidak terlepas dari jabatan resmi pertama dalam Pemerintahan Indonesia di Aceh Tengah.

Upaya menyepakati ketetapan hari jadi Aceh Tengah, sepertinya belum pernah dilakukan. Pada 20 Nopember 2008 lalu, Majelis Permusyawaratan Ulama ( MPU) Kabupaten Aceh Tengah dalam rapat Dewan Paripurna Ulama (DPU) MPU Aceh Tengah di Gedung Pendari Inen Mayak Teri Takengon merekomendasikan tanggal 18 Mai sebagai Hari Ulang Tahun (HUT) Aceh Tengah.

Pendapat yang diungkapkan oleh Ketua MPU Aceh Tengah, Tgk. H Muhammad Ali Djadun ini didasarkan dengan diangkatnya Tengku Raja Ma’un menjadi Beusterder Van Bukit atau Landehap Van Bukit pada tanggal 18 Februari 1910. Tengku Raja Ma’un ini merupakan orang Gayo pertama yang mengecap pendidikan formal, yakni pada tahun 1905. Raja Ma’un sendiri adalah keturunan lurus dari Muyang Sengeda Kejurun Bukit I atau generasi ke IX setelah Muyang Sengeda, Raja Ma’un dilahirkan pada tahun 1895 di Kebayakan Takengon.

Mendengar pemamparan panjang Tgk. H Ali Djadun saat itu, Bupati Aceh Tengah Ir H Nasaruddin MM berjanji mengadakan seminar untuk menyimpulkan kapan sebenarnya hari lahir Aceh Tengah. “Pemda sendiri melalui sejarawan asal daerah dingin itu telah lama mencari kapan sebenarnya kelahiran Kabupaten yang beribukota Takengon, akan tetapi belum ada sejarawan yang menyerah data-data terkait, “ kata Nasaruddin saat itu.

Menurut Kabag Humas Setdakab Aceh Tengah, Drs. Windi Darsa, Sabtu (7/11), tidak adanya dilakukan kegiatan bentuk peringatan terhadap hari jadi Aceh Tengah dikarenakan belum adanya kesepakatan konkrit dari pemangku kepentingan.

Seorang pemerhati budaya Gayo di Takengon, Aman Shafa mengungkapkan telah ada tim yang dibentuk Pemda Aceh Tengah beberapa tahun silam untuk menggali sejarah terbentuknya Aceh Tengah. Drs. H Mahmud Ibrahim ditunjuk sebagai ketua tim saat itu. Akan tetapi hingga saat ini tak ada laporan pekerjaan tim tersebut. Aman Shafa berharap agar segera dilakukan penetapan kapan hari jadi kabupaten Aceh Tengah, “Sebuah negeri yang besar tak ada arti apa-apa jika tak menghargai sejarahnya,” pungkas Aman Shafa.[003]

Oleh Mahmud Ibrahim

Aman Dimot lahir di Tenamak Kecamatan Linge Isaq tahun 1900. Beliau menyelesaikan pendidikan membaca Al Qur’an di Desa kelahirannya. Pendidikan, pengalaman dan lingkungannya telah membina Aman Dimot hidup sederhana, beriman teguh, jujur dan memiliki prinsip yang kokoh. Perjuangan merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sangat berkesan dan tidak dapat di lupakan.

Ketika berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia sampai di Takengon awal September 1945, Aman Dimot menggabungkan diri ke dalam Lasykar barisan berani mati, kemudian kedalam Lasykar Mujahidin yang dipimpin oleh Tgk. Ilyas Lebe dan Tgk. M. Saleh Adry. Pada tanggal 25 Mei sampai dengan 10 Juli 1945, Aman Dimot mengikuti latihan kemeliteran yang diselenggarakan oleh Dewan perjuangan Rakyat (DPR) di Takengon dipimpin oleh Moede Sedang, dilatih oleh Nataroeddin, Komandan Kompi 16 Tentara Republik Indonesia. 2)

Ketika terjadi agresi meliter Belanda kedua 19 Dessember 1948, Belanda bergerak memperluas serangan dari Medan ke Langkat dan Tanah Karo menuju Aceh. Proses sejarah perjuangan merintis, merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia membuktikan bahwa Aceh Tengah berani mengirim pasukan dan bahan pangan ke medan pertempuran di luar Daerah. Tidak kurang dari lima gelombang pejuang dari Aceh Tengah, dengan gigih merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dimedan pertempuran Aceh Timur, Langkat, Medan, Tapanuli dan Karo, bahkan sampai ke Bonjol Sumatra Barat.
————————–

——————–
1) Panglima atau Pang di Gayo adalah gelar yang diberikan masyarakat pada seseorang yang memiliki keberanian luar biasa melawan musuh. Nama asli Aman Dimot adalah Abu Bakar bin Utih.
2) Surat tamat latihan Kemeliteran, 10 Juni 1946.

Pada bulan April 1949, Lasykar pejuang dari Aceh Tengah menuju perbatasan Aceh-Langkat, dipimpin oleh Tgk. Ilyas Lebe, Tgk. Saleh Adry dan Abd. Karim Atang Muguril untuk bersama pasukan lainnya untuk mempertahankan kemerdekaan di tanjung Pura. Sementara itu Belanda menyerang pasukan Indonesia di tanah karo.

Tgk. Ilyas Lebe kembali ke Takengon dan menyusul pasukan “BAGURA” (Barisan Gurilya Rakyat) untuk ikut mematahkan serangan Belanda di Tanah Karo. Bagura memiliki 300 personel, 200 orang dari Takengon dan 100 dari Belang kejeren dan Kutacane, dikoordiner oleh Tgk. Ilyas Lebe. Personel yang dapat dicatat antara lain : Abd. Rahman Ali gayo (Ajudan koordinator), Chairul Bachari (Sekretaris), Hasiluddin (Kesehatan), Zulkifli (Angkutan), Saifuddin Kadir (kuril), Ali Hasan, Agus Salim, Gundala Pati, M. Yasin Bale, Adam Isaq, Aman Ridah, Z. Kejora, Aman Jauhari, Usman, muse, Adam, Ali dan beberapa orang bergerak “panglima : Panglima Aman Dimot, panglima Ali, panglima Alim dari Takengon, panglima Daling, panglima Kilet dan panglima Sekunce dari Blang Kejeren. 3)

Mereka dibagi atas empat kelompok yaitu Barisan Berani Mati, Barisan Jibaku, TRI dan Pasukan Berkuda, Masing-masing bertugas sebagai penyerang pertama, penyerang kedua pengepung dan penembak serta pengangkut perbakalan dan amnisme. Atas perintah Komandan Resimen Devisi Tgk. Tejik Di tiro dan dengan persetujuan Gubernur meliter Aceh, Langkat dan Tanah karo, Bagura bergerak menuju Font Tanah karo pada hari Rabu bulan Mei 1949 4) melalui route Takengon-Blangkejeren dan Kutacane sejauh 265 km dengan berjalan kaki, kecuali Takengon-Waq sejauh 60 km dengan menggunakan truck.

Ini merupakan gelombang kelima belas atau terakhir pemberangkatan pejuang dari Aceh Tengah untuk mempertahankan Kemerdekaan RI di luar daerah menjelang pengakuan Belanda atas kedaulatan Indonesia.
———————————————-
3) Catatan dan wawancara H. Abd. Rahman Aly Gayo, 5 February 1981 di banda Aceh.
4) Catatan Bagura, Juli 1949.

Bagura berangkat dari Takengon menuju Waq secara berangsur selama dua hari, menggunakan truck milik seoarang warga negara Cina Bunchin, dikemudikan oleh Ja’far. Mereka memakai pakaian seragam dan ikat kepala kain berwarna merah. Sebagian tidak memiliki pakaian seragam, ada bersepatu dan ada yang tidak, dilengkapi dengan beberapa pucuk senjata api dan sebagian besar pedang. 5)

Menjelang keberangkatan Bagura ke Karo, Aman Dimot menyatakan kepada isteri dan anak-anak belliau :
“Jaga anak kita baik-baik. Saya tidak akan kembali kesin lagi. Maafkan kesalahan saya”.
Mereka saling bersalam. Anak-anak beliau memeluknya, seraya manangis melepas suami dan ayah tercinta dengan do’a. syekh Ahmad-anak beliau-ingin melawan Belanda bersama ayahnya, tetapi Aman Dimot tidak mengizinkannya. Syekh Ahmad semakin bersedih ketika menatap ayahnya diatas truck, mengucapkan “BISMILLAH, ALLAHU AKBAR”, penuh semangat.

Ketika pasukan Bagura hari hari pertama tiba di Waq, Aman Dimot meminta kesediaan Tgk. M. Saleh Adry untuk membawa anaknya-Syekh Ahmad-ke Reruang bersama anggota pasukan yang diberangkatkan ke Waq hari kedua. Aman Dimot berburu rusa di Gelampang untuk perbekalan, sambil menuggu anaknya dan pasukan Bagura hari kedua. Beliau bersama Tgk. Ilyas Lebe, Tgk. M. Saleh Adry, dan Syekh Ahmad, bermalam dirumah Sumaraji di Reruang, ketika tengah malam, Aman Dimot memandikan Syekh Ahmad disebuah anak sungai sambil berdo’a agar anaknya dapat mengamalkan ilmu yang dimiliki ayahnya. Kemudian Aman Dimot berkata : “Win-anakku-,ayah hendak pergi berperang. Sekirannya bertuah, ayah akan kembali. Ayah ingin membela agama, bangsa, negara dan kakekmu yang dibunuh Belanda dijembatan Bale Lanjutkan perjuangan bila ayah berpulang ke Rahmatullah”. 6)

———————————————-
5) Surat lebaran “Perang dan Idul Fithri, Zuska, Analisa Minggu, 2 September 197.
6) Wawancara dengan Isteri dan anak Aman Dimot, Samidah dan Syekh Ahmad di Remesen, 15 Juli 1974. “Win”(Bhs. Gayo) adalah panggilan kasih sayang kepada seorang lelaki.

Pukul 08.00 hari Jum’at, M. Jamil membunyikan terompet, anggota Bagura berkumpul di Waq dan menyusun barisan menurut kelompok yang sudah ditetapkan. Syekh Ahmad menyusup dibarisan belakang pasukan berkuda, untuk memenuhi keinginannya ikut bersama ayahnya melawan Belanda.

Dengan pekik “Allahu Akbar” dan “Merdeka”, Bagura bergerak berjalan kaki menuju Tanah Karo, melalui route Lumut, Ise-Ise, Kenyeren, Belangkejeren, Uten Pungke, jamur Duwe, Umah Bundar, gunung Setan (Louser), Simpang Tiga Junger, Tanah Merah, Kutacane, Pemanting dan Sugihan. Di tempat-tempat itu mereka istirahat dan bermalam. Di Lumut mereka dijamu oleh Aman bedus, di belang kejeren selama dua hari dijamu oleh Muhammad Dhin. Di Kutacane mereka melakukan konsulidasi, menerima dan mempelajari informasi serta menyusun taktik dan strategi menghadapi tentara Belanda di front Tanah karo.

Setelah enam hari berada di Kutacane, Bagura menuju pusat pejuang dibagian Barat Tanah Karo -Pemanting dan Sugihan-, dimana Bagura bergabung dengan kesatuan pejuang lainnya berkekuatan 300 personel yang dipimpin oleh Selamat Ginting. Atas usul Pang Jaring, maka pada tanggal 25 Juli 1949 dilakukan pengepungan asrama meliter Belanda di Mardinding. Sebelumnya koordinator Bagura memerintahkan pang Kilet dan Pang Sekunce untuk mengintai kekuatan dan keadaan tentara Belanda pukul 00.10. sekeliling asrama meliter Belanda itu dipasang kabel beraliran listrik. Dengan cara-cara tertentu yang dilakukan Pang Kilet dan Pang Sekunce, tentara Belanda yang bertugas jaga terlena, sementara yang lainnya tidur pulas. Kedua Pang tersebut melapor kepada koordinator Bagura yang berada 200 meter dari lokasi asrama tentara Belanda bersama pasukannya. Penyerbuan dilakukan dini hari dengan cencangan pedang dan tembakan senapang. Tentara lari ke kembangan.

Tanggal 26 Juli 1949, bagura menuju tiga binanga dan Kalibata. Tanggal 30 Juli 1949 pukul 08.00 nampak iringan-iringan pasukan tentara Belanda di Raja merahe, menggunakan 25 truck dan dua buah tank masing-masing didepan dan dibelakang pasukan. Kekuatan personel tentara Belanda diperkirakan 600 orang dengan persenjataan lengkap.

Koordinator Bagura memerintahkan anggota pasukan siap siaga dipematang dan relung-relung bukit bersemak lalang, menanti pasukan Belanda ditekongan patah jalan kutacane-kabanjahe. Beliau berada dipematang bukit bersemak, dari situ tampak jelas gerakan musuh. Aman Dimot, pang Alim Aman Aminah, Pang Ali Ketol, Pang Kilet, Pang Sekunce, Adam dan Ali Rema serta empat orang lainnya, siap siaga dilekuk bukit dengan tekongan jalan paling patah dengan senapang dan pedang. Ketika tank belanda paling depan berada ditekongan paling patah itu, koordinator Bagura memberi komando :“Serbu!” dengan teriakan diiringi tembakan. Pang Aman Dimot, Pang Ali dan 8 pejuang lainnya dengan cepat melompat menyerang dan naik keatas tank dan truck tentara Belanda, seraya meneriakkan “Allahu Akbar” dan mencencang lima tentara Belanda. Sementara yang lain menyerang dan membunuh tentara Belanda di truck-truck dibelakangnya dan yang sedang melompat dan tiarap diparit jalan.

Waktu menunjukkan pukul 11.00, koordinator Bagura memberi komando “Munduur!”, sebab anggota pasukan Bagura semakin lelah dan dari kejauhan nampak pasukan bala bantuan tentara Belanda dengan cepat menuju lokasi pertempuran. Pang Ali dan Pang Alim terjun kedalam jurang, anggota pasukan lainnya mundur secara teratur. Adam dan beberapa anggota lainnya gugur. Sementara Pang Aman Dimot sendiri terus melawan tentara Belanda, tidak menghiraukan perintah mundur.Koordinator bagura berteriak memanggil Aman Dimot dengan bahasa Gayo :” Abang aman Dimot, ulaaak !”. Aman Dimot menjawab : “Aku gere ulak” 7).

Aman Dimot bertambah lelah dan lemah. Beliau dikepung dan tangkap tentara Belanda, diseret dengan mobil Tank ke lapangan dan sebelumya Aman dimot digiling dengan mobil Tank lalu dimasukkan kedalam parit jalan. dan Tentara Belanda memasukkan dan meledakkan geranat dalam mulutnya.

Jasad Aman Dimot berserakan menaburi ibu Pertiwi tepat pukul 12.00.8) Perang berakhir dalam situasi penuh haru dan semangat mempertahankan Bangsa dan Negara. Aman Dimot, Adam (Unig Isaq), Ali (Penam paan) dan Adam (Rema) yang gugur ditengah-tengah gelimpangan mayat tentara Belanda, disemayamkan oleh penduduk di Rajamerahe. Kemudian Haji Sulaiman-yang baru menganut Islam-, memindahkan kerangka Syuhada’ itu ke Tiga binanga. Selanjutnya pemerintah daerah Tingkat II Karo memindahkannya ketaman makam Pahlawan kaban Jahe dalam kelompok Pahlawan tidak dikenal. 9)

20 hari kemudian, Kepala Staf Angkatan Perang Tentara Nasional Indonesia Sektor III/ Sub teritorial VII-Ulung Setepu-, dalam surat pernyataan turut berduka cita menyatakan, bahwa Aman Dimot telah bertempur dengan gagah berani melawan musuh-musuh kita di Rajamerahe (Tanah Karo-Sumatra Timur) dan telah gugur sebagi bunga melati dipangkuan Ibu Pertiwi Indonesia pada tanggal 30 bulan Juli 1949. 10)

Almarhum meniggalkan dua orang isteri : Semidah (Lahir 1910) dan Jani serta 4 anak : Syekh Ahmad Aman (1921), Ali Ahmad Aman Safiah (1924), Aisyah Inen Jura’(Lahir 1927) dan Muhammad Yunus Aman Ir (Lahir November 1948).

Untuk mengabadikan perjuangan pang Aman Dimot dan Pang Ali, Z. Kejoro dan Agussalim bersama teman-teman seperjuangan di kandibata, mengubah sebuah lagu “Pertempuran Sukaramai”, ketika dalam perjalanan kembali dari Front Tanah Karo.
———————————————-
7) Ulak (Gayo) artinya pulang. Aku gere ulak = saya tidak pulang.
8) Catatan Bagura 1949 dan wawancara Tgk. Ilyas Lebe di Banda Aceh, 10 Juni 1966.
9) Wawancara dengan tgk. H. Abd. Rahman Aly Gayo di Takengon, 20 Januari 1995.
10) Surat pernyataan NO. Sektor III/2/49/752, 20 Agustus 1949.

Masyarakat berkumpul di bioskop Gentala dan dijalan Lebe Kader dan Jalan Mahkamah Takengon, menanti dan menyambut kedatangan para pejuang dari medan perang, dengan penuh semangat dan kasih sayang. Senin 10 Agustus 1949, pukul 10.00, mereka tiba di Takengon dari Isaq. Masyarakat menyambut mereka dengan pekik “ Allahu Akbar” dan “Merdeka”. Para pejuang dirangkul dan sebagian digotong memasuki gedung Gentala.

Koordinator Bagura menyampaikan riwayat perjuangan di wilayah Kandibata, setelah Bupati Abd. Wahab atas nama pemerintah dan masyarakat menyambut mereka. Acara diakhiri dengan lagu bersama pasukan Bagura, diikuti oleh hadirin dengan penuh semangat dan cucuran air mata, sebab Aman Dimot dan beberapa pejuang lainnya telah tiada.

***

Siapapun tidak mampu menilai dan membalas keikhlasan perjuangan Pahlawan Aman Dimot dalam mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia di Rajamerahe Kandibata, selain do’a semoga Allah memasukkan Almarhum kedalam Sorga. 10 Januari 1952, Bupati Aceh Tengah pernah memberi bantuan kepada keluarga Almarhum Aman Dimot : 1 helai kain sarung, 12 yard kain kemeja. 3 batang sabun cuci, 2 buah sabun mandi, dan Rp. 100,-uang tunai. 11)

Dalam rangkaian peringatan memperingati Hari Pahlawan 10 November, Pemerintah Daerah Tingkat II Aceh Tengah, memberi bingkisan kepada keluarga Almarhum. Sejak 12 September 1978, telah diurus surat-surat untuk memperoleh tunjangan veteran RI bagi kelurga Aman Dimot. Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Tengah- H. M. Beni Bantacut, BA -, pernah menyampaikan nota kepada Kepala Kantor Veteran Aceh Tengah tahun 1980 dan memberi bantuan biaya pengurusannya, bahkan beberapa pimpinan masyarakat pernah menyumbang untuk itu, namun sampai sekarang surat pengakuan Veteran dimaksud belum ada!!
———————————————-
11) Surat Bupati Aceh Tengah, 10 Januari 1952.

Dalam temu ramah pimpinan Daerah Istimewa Aceh dengan para pejuang dan keluarga Pahlawan November 1994 di Mount Mata Banda Aceh, H. Abd. Rahman Aly Gayo memberi ceramah berjudul : “BAGURA DAN PANGLIMA AMAN DIMOT”. Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh – Prof. Dr. Syamsuddin Mahmud -, sangat tergugah terhadap perjuangan dan pengurbanan Aman Dimot. Beliau mengharap agar H. Abd. Rahman Aly Gayo menjiarahi dan mempelajari kemungkinan pemugaran makam pahlawan Aman Dimot.

Setelah berkonsultasi dengan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Tengah – Drs. Buchari Isaq – 6 januari 1995 di Takengon, H. Abd. Rahman aly Gayo bersama Ali Hasan dan Syekh Ahmad, menuju Kabanjahe . Mereka berkonsultasi dengan Asisten II Sekretaris Wilayah Daerah Tingakt II Karo – Drs. M. Nurdin Ginting -, sebelum menjiarahi makam Pahlawan Aman Dimot. 12)

Hasil konsultasi dan Ziarah itu, disampaikan kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Tengah dan Beberapa pemimpin Masyarakat di Takengon. Hasil konsultasi itu diteruskan kepada Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh 26 januari 1995, terdiri dari :
1. Memugar makam Pahlawan Aman Dimot dan 6 Pahlawan lainnya yang berasal dari Aceh Tengah di Taman Makam Pahlawan Kabanjahe.
2. Membangun monumen Pahlawan tersebut di Takengon.
3. Menerbitkan buku sejarah perjuangan-perjuangan masyarakat Aceh Tengah merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI.
4. Mengurus surat pengakuan dan bantuan Veteran bagi keluarga Pahlawan Aman Dimot.13)

Sementara itu, pada November 1994, PPM ( Pemuda Pancasila Marga ) aceh Tengah melakukan napak tilas “Aman Dimot”, menempuh route perjalanan Bagura menuju Tanoh Karo. Tujuannya agar generasi muda mampu menghayati dan meneladani perjuangan Aman Dimot.
————————————————
12) Wawancara dengan H. Abd. Rahman Aly Gayo, 20 Januari 1995 di Takengon.
13) Surat H. Abd. Rahman aly Gayo, 31 Januari 1995.

Gubernur Kepala Daerah Istimewa Aceh berharap agar Bupati Kepala Daerah Tingkat II Aceh Tengah, dapat merumuskan bersama instansi terkait dan pemimpin masyarakat untuk memugar makam para Pahlawan Aman Dimot. 14)

Dalam rapat ke- II panitia hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI ke-50 di Aceh Tengah, Senin 18 Mei 1995, dibicarakan pemugaran makam pahlawan Aman Dimot dan penulisan sejarah perjuangan masyarakat aceh Tengah dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI, sebagai salah satu program memperingati Kemerdekaan RI di Aceh Tengah.

Serangkaian dengan itu, Bupati Kepala daerah Tingkat II Aceh Tengah mengundang Ketua Legiun Veteran RI Cabang Aceh Tengah, Pasi MIN DIM 0106, Sekretaris Legiun Veteran Ri Kabupaten Aceh Tengah, Ali Hasan, Drs.H, Mahmud Ibrahim, Tgk. H. Mohd. Ali Djadun, Tgk. H. M. Ali Salwany dan M. Y. Sidang Temas pada hari Selas 23 Mei 1995 mulai pukul 09.00 WIB, untuk membicarakan pemugaran makam Panglima Aman Dimot diruang kerja Sekretaris Wilayah Daerah Tingkat II Aceh Tengah. 15)
Pertemuan tersebut tidak jadi dilaksanakan, karena Bupati Kepala Daerah, Drs. H. Mahmud Ibrahim dan tgk. H. M. Ali Salwany menghadiri temu ramah dengan Pangdam – I bukit Barisan di Lhokseumawe.

****

Bangsa yang besar dan terhormat adalah bangsa yang menghargai jasa dan menghayati perjuangan para Pahlawannya. Untuk itu perlu dikaji dan ditulis sejarah perjuangan masyarakat Aceh Tengah dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI. Membangun monumen sejarah, mengabadikan nama-nama Pahlawan sebagi nama bangunan dan nama jalan yang vital dan mengusahakan kesejahteraan keluarga para Pahlawan.
———————————————
14) Surat Gubernur No. 469/9954 tanggal 24 April 1995.
15) Surat undangan No. 005/1076 tanggal 18 Mei 1995.

Jalan raya semakin mulus. Cahaya bersinar dikota dan desa. Kesejahteraan masyarakat semakin meningkat. Namun masih banyak orang melupakan Tuhan dan Pahlawan. Peringatan 50 tahun Kemerdekaan republik Indonesia, hendaknya lebih mampu menggugah manusia Indonesia untuk lebih bersyukur kepada Allah dan lebih menghayati dan menghargai perjuangan dan jasa Pahlawan, guna menigkatkan pembangunan.

Tulisan sederhana ini, diakui belum lengkap dan sempurna. Ada diantara pelaku-pelaku sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan Kemerdekaan Negara dan Bangsa Indonesia, yang diberi Allah Kesempatan hidup. Tolong dicatat sejarah itu dan sempurnakan tulisan ini, agar kita tidak berdosa apabila generasi penerus tidak mengetaui dan menghayatinnya, disebabkan kita tidak mewariskannya berupa tulisan dan peringatan.

Terima kasih.

*********

Saat ini keluarga Pejuang Aman Dimot berharap kepada pemerintah NAD untuk kembali memperhatikan keluarga dari Aman Dimot yang di tinggalkan. Saat ini keluarga Aman Dimot seluruhnya berada di Kabupaten Bener Meriah Propinsi NAD. Alamat keluarga Panglima Aman Dimot, Jalan Syiah Utama No.13 Depan Kantor Camat Pondok Baru,Kecamatan Bandar,Kabupaten Bener Meriah,Peropensi Nanggeroe Darussalam

Dirilis oleh Cicit Aman Dimot (Ruhdi )

Oleh Sabela Gayo*

Terpilihnya Qory Sandioriva sebagai Putri Indonesia tahun 2009 merupakan kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Gayo yang berada di Provinsi Aceh bahkan diseluruh Indonesia. Ini merupakan sebuah prestasi yang luar biasa dimana dengan persaingan yang demikian ketat, Qory Sandioriva berhasil menyisihkan kontestan putri Indonesia lainnya.

Kecaman yang dilontarkan oleh berbagai kalangan di Provinsi Aceh terutama yang datang dari Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Utara tgk Mustafa Puteh, Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) merupakan kecaman yang penuh dengan nuansa “sentimen negatif” dengan berkedok islam. Kiya tidak bisa mengukur keimanan seseorang hanya dari pakaian/jilbab yang dipakai, tetapi untuk mengukur kadar keimanan seseorang haruslah dilakukan secara komprehensif dari berbagai sisi dan parameter yang ada. Di satu sisi ulama di Aceh sangat agresif atas terpilihnya Qory sandioriva sebagai Putri Indonesia lantaran tidak memakai jilbab, tetapi sebaliknya pada saat qanun jinayat dan qanun acara jinayat disahkan oleh DPR Aceh, banyak kalangan di Aceh bahkan ulama-ulama dayah yang keberatan diberlakukannya Qanun Jinayat dan Qanun Acara Jinayat. Disini saja terlihat inkonsistensi dan perpecahan pendapat dikalangan ulama Aceh sendiri dalam hal penerapan syari’at islam secara kaffah. Bahkan ada seorang ulama dayah Aceh mengatakan bahwa “Qanun Jinayat perlu adanya sosialisasi, harus dipertimbangkan kembali dan jangan diberlakukan secara langsung. Untuk hal yang besar saja seperti qanun jinayat dan qanun acara jinayat, para ulama masih berbeda pendapat tentang perlu/tidaknya diterapkan, tetapi mengapa untuk masalah kecil seperti jilbab, mereka seperti orang yang kebakaran jenggot?. Ulama jangan sampai terlibat bahkan terjebak pada isu-isu yang tidak terlalu penting dan strategis, seperti halnya jilbab tersebut.

Hukum positif di indonesia hari ini masih mengakui bahwa pelaksanaan pemilihan putri Indonesia adalah sah dan tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada. Dan sepanjang yang kami ketahui belum ada fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai sebuah Lembaga Ulama yang diakui keberadaannya di Indonesia, yang mengeluarkan fatwa bahwa ajang Pemilihan Putri Indonesia haram dan orang yang mengikuti kontes Putri Indonesia dikategorikan hukumnya sebagai orang yang tidak beriman dan sebagainya.

Indonesia adalah sebuah Negara hukum yang mengakui keberadaan agama terutama keberadaan hukum islam sebagai salah satu pilar pembentukan hukum nasional, tetapi sepanjang aturan-aturan islam belum diabsorpsi (diserap) ke dalam hukum positif Indonesia, maka hukum islam hanya mengikat secara personal keislamanan.

Jilbab adalah sesuatu alat penutup kepala kaum wanita yang menurut hukum positif di Indonesia bukan merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan melainkan hanya sebatas hak. Kalau kita mau mengkaji tentang jilbab di Indonesia, pertanyaan yang muncul adalah, apakah kita mau mengkaji jilbab dari sisi hukum positif Indonesia/dari hukum Islam?, dalam konteks ke-Indonesia-an pemakaian jilbab merupakan hak individu/pribadi yang tidak dapat kita paksakan, pemakaian jilbab harus muncul dari kesadaran pribadi/individu tersebut. Untuk kasus terpilihnya Qory Sandioriva dalam ajang Kontes Pemilihan Putri Indonesia 2009, pemakaian jilbab tidak lazim dilakukan karena ada mahkota/tanda kebesaran yang harus dipakai peserta yang mana apabila memakai jilbab kemungkinan besar penyematan mahkota/tanda kebesaran tersebut menjadi sulit dilakukan.

Memakai jilbab/tidak memakai jilbab adalah masalah khilafiyah yang tidak akan pernah selesai-selesai apabila dibahas, sama halnya dengan permasalahan khilafiyah apakah shalat subuh pakai qunut/tidak. Bagi saya pribadi bukan menjadi permasalahan yang besar apakah orang tersebut pakai jilbab/tidak, yang paling penting bagi saya adalah apakah orang tersebut shalat lima waktu/tidak?, ada orang yang tiap hari pakai jilbab terus tapi perbuatannya justru berkhalwat terus, dan sebaliknya ada juga orang yang tidak pakai jilbab tapi shalat lima waktunya tidak pernah tinggal. Pakai jilbab/tidak untuk memukur kadar keislaman/keimanan seseorang masih sangat relatif sekali dan tidak memiliki parameter yang jelas. Kita jangan sampai terjebak pada simbolisasi-simbolisasi semata tanpa memperdulikan penguatan-penguatan aqidah keislama di tingkat masyarakat luas.

Pendapat negatif, tudingan miring, bahkan penolakan secara sistematis, atas terpilihnya Qory Sandioriva sebagai Putri Indonesia yang bertujuan untuk menjatuhkan citra Qory Sandioriva secara pribadi, apalagi yang dilontarkan oleh berbagai kalangan di Aceh terutama oleh MPU Aceh Utara, HUDA dan Kadis Pariwisata dan Kebudayaan Aceh,Mirzan Fuady dengan mengatasnamakan Aceh merupakan bentuk perbuatan yang “kurang dewasa” dan “kurang bersahaja”. Kalau mau diprotes jangan kontestan Putri Indonesia nya yang dikecam tetapi kecamlah panitia pelaksana Kontes Putri Indonesia dan pihak-pihak lain yang mendukung acara tersebut. Sebagai contoh: “kalau mau memberantas ganja, orang yang tanam ganja yang harus dihukum mati agar orang lain tidak bisa beli/mendapatkan ganja”. Kalau mau mengecam Putri Indonesia, kecamlah Panitia Pelaksana/pihak-pihak yang mendukung agar supaya tidak ada orang yang ikut kontes pemilihan Putri Indonesia”

Kalau memang Pemerintah Provinsi Aceh tidak mau “mengakui” Qory Sandioriva sebagai Putri Indonesia yang mewakili Aceh bahkan tidak merasa pernah mengirimkan wakilnya untuk mengikuti kontes Putri Indonesia sebagaimana yang dilontarkan oleh Munir Fuady di harian Rakyat Aceh edisi Minggu 11 Oktober 2009, berarti Qory Sandioriva adalah Putri Indonesia yang mewakili Gayo, dari Provinsi Aceh.(karena kebetulan saja Tanoh Gayo secara administratif masih berada dibawah pemerintahan provinsi Aceh).

Semoga kasus ini menjadi bahan renungan bagi masyarakat gayo dimanapun berada bahwa pelaksanaan syariat islam tidak hanya ditentukan oleh simbol-simbol belaka tetapi juga harus merupakan cerminan dari pribadi orang yang bersangkutan. Maju terus adinda ku Qory Sandioriva.

* Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Pemuda Gayo.

Oleh Yusradi Usman al-Gayoni

Reje mu suket sipet; imem mu perlu sunet; petue mu sidik sasat; rayat genap mupakat.

Artinya:
Reje menakar sifat; imem (berurusan dengan) fardu sunat; petue (bersifat) menyelidiki; rayat bermusyawarah (genap mupakat).

Peribahasa tersebut merupakan falsafah kerajaan Linge, di dataran tinggi tanoh Gayo, yang merupakan salah satu kerajaan tua di Aceh, dengan Adi Genali sebagai raja pertamanya. Dalam kerajaan Linge, terdapat empat unsur pemerintahan yang dikenal dengan sarak opat (empat unsur), yaitu reje (raja), imem, petue, dan rayat (rakyat), ditambah pembantu reje lainnya seperti bedel (wakil raja), banta (sekretaris), kejurun, pengulu, pawang, biden, dan hariye . Sebelum orang Gayo menganut Islam, unsur tadi hanya tiga, yaitu reje, petue, dan rayat. Unsur imem bertambah setelah Islam masuk, dan melembaga dalam masyarakat ini. Pertama, reje mu suket sipet. Reje, raja atau pemimpin harus berindak adil terhadap diri, keluarga, lingkungan ketetanggaan, dan rakyat yang dipimpinnya. Dalam bahasa adat, konsep adil tersebut terangkum dalam munyuket gere rancung, mu nimang gere angik (menakar tidak miring, menimbang tidak berat sebelah). Dalam perencanaan, pengambilan, dan pelaksanaan keputusan, reje turut menyertakan pertimbangan unsur pemerintahan lainnya. Terlebih-lebih, pertimbangan imem, akan sangat menentukan keputusan raja. Selain itu, peran reje, dan imem sangat menentukan baik tidaknya keadaan masyarakat. Dengan begitu, reje, tidak boleh sewenang-wenang, otoriter, dan zalim dalam memimpin pemerintahan.

Kedua, imem mu perlu sunet. Imam, lebe, seltan, atau tengku bertugas terkait dengan Islam, baik perkara syariat, perkembangan Islam kontemporer, hubungan sesama rayat, rayat dengan alam, maupun hubungan vertikal rayat dengan Tuhan. Ketiga, petue mu sidik sasat. Petue; orang yang dituakan dalam masyarakat, diangkat dan ditetapkan raja, dikarenakan yang bersangkutan mengetahui seluk beluk masyarakat terlebih lagi soal adat istiadat, norma, nilai, resam, dan peraturen, . Salah satu tugasnya adalah menyelidiki keadaan masyarakat (mu sidik sasat). Hasil penyelidikan tersebut akan dilaporkan kepada raja, sebagai pertimbangan raja sebelum penetapan sebuah keputusan. Unsur yang terakhir, adalah rayat. Rayat semacam lembaga perwakilan masyarakat untuk bermusyawarah, yang tujuannya untuk mencapai kata mupakat (keramat mupakat behu berdele).

Oleh: Sabela Gayo *

Tari saman adalah sebuah tari tradisonal yang berasal dari daerah lokop serbejadi (Aceh Timur) dan Blangkejeren (Gayo Lues). Dalam berbagai sumber sejarah yang ada Tari Saman sebenarnya untuk tingkat Provinsi Aceh berasal dari kedua daerah tersebut yaitu Lokop Serbejadi dan Blangkejeren. Bahkan di Aceh Tengah dan Bener Meriah sendiri yang notabene merupakan daerah Gayo, bukan asal dari Tari Saman. Karena seni budaya yang lebih berkembang di Dataran Tinggi Tanoh Gayo khususnya Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah kesenian Didong, Sebuku, dll.

Konon pada mulanya Tari Saman diciptakan oleh seorang ulama yang menyebarkan agama islam yang bernama Syech Saman. Seperti halnya daerah-daerah lain di Indonesia, seni budaya merupakan salah satu media penyampaian dakwah yang paling efektif bagi penyebaran nilai-nilai dan syiar islam di kala itu. Melalui seni-budaya biasanya masyarakat dengan cepat dan mudah menerima dan memahami pesan-pesan dakwah islam yang disampaikan melalui media seni budaya.

Pada era globalisasi, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, seni-budaya merupakan salah satu media yang paling efektif untuk menjalin hubungan dan komunikasi dengan dunia luar. Sedemikian pentingnya peran seni-budaya sehingga banyak Negara yang melakukan pertukaran delegasi seni-budaya dalam rangka semakin mempererat tali persaudaraan dan kesepahaman diantara sesama bangsa-bangsa di dunia. Karena demikian penting dan sakralnya sebuah identitas budaya bagi sebuah komunitas masyarakat adat sehingga masyarakat adat Bali menjadi resah ketika kelompok-kelompok tertentu di Malaysia mengklaim bahwa Tari Pendet adalah kebudayaan asli Malaysia.

Demikian halnya dengan Tari Saman yang sangat diminati dan disenangi oleh berbagai kelompok masyarakat pada setiap penampilannya. Dimana terbukti setiap kali penonton menyaksikan pementasan Tari Saman selalu berdecak kagum dan memberikan aplus yang luar biasa dalam setiap penampilannya. Kekaguman penonton mungkin dikarenakan oleh gerakan-gerakan Tari Saman yang sangat serempak dan rapi dengan semangat para penarinya yang berapi-api. Tetapi sayangnya sekarang ini, banyak para koreografer-koreografer tari ataupun pencipta-pencipta tari dengan berkedok dan berdalih TARI KREASI BARU, menjiplak, meniru dan mengambil gerakan-gerakan Tari Saman pada intinya dengan menambahkan alat-alat musik tertentu untuk menyamarkan gerakan-gerakan Tari Saman yang dicontoh, ditiru dan diambil tersebut. Kalau namanya Kreasi Baru, seharusnya merupakan tari-tarian yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, yang semula gerakan-gerakan tarinya tidak ada dan tidak dikenal kemudian menjadi ada dan dikenal. Demikian pemahaman saya tentang Kreasi Baru dari segi bahasa, entah apakah pemahaman saya itu sama dengan pencipta-pencipta seni lainnya atau tidak. Wallahua’lam bissawab.

Hal tersebut diatas sebenarnya tidak seberapa dan belum apa-apa jika dibandingkan dengan kondisi terakhir dimana Tari Saman sudah ditampilkan dengan penyampaian syair-syairnya yang tidak lagi memakai bahasa dan baju adat Gayo dan banyak Sanggar Tari di Aceh yang sudah mengubah syair-syair Tari Saman kedalam bahasa-bahasa lain selain Bahasa Gayo, bahkan para penari-penarinya pun sudah memakai baju adat lain dan tidak lagi memakai baju adat Gayo. Kondisi itu tentu sangat menyedihkan dan menyakitkan perasaan ke-Gayo-an kita dimana Seni Budaya kita khususnya Tari Saman sudah dibajak oleh orang lain dengan alasan-alasan yang tidak jelas. Gerakan-gerakan tarinya ditiru, dijiplak dan diambil tetapi identitasnya berupa bahasa dan baju adat ditinggalkan. Dan hal itu terjadi di depan mata kita, tetapi mengapa kita hanya diam saja?.

Kita tidak ingin kondisi Tari Saman akan bernasib tragis sama seperti Tari Pendet dimana Negara lain mengklaim bahwa Tari Pendet itu adalah miliknya. Tapi kalau kita mau jujur Tari Pendet masih lebih untung dan baik kondisinya dibandingkan dengan Tari Saman. Kalau Tari Pendet, hanya kepemilikannya saja yang diklaim oleh Negara lain tapi gerakan-gerakan tarinya, baju adatnya, bahasa penyampaian syair-syairnya masih menggunakan bahasa bali dan memakai baju adat Bali (walaupun menurut kita baju adat Bali itu melanggar syari’at). Tetapi kalau Tari Saman kondisinya lebih parah lagi, gerakan-gerakan tarinya ditiru / dipelajari / dijiplak / diambil, baju adatnya ditukar dan bahasa penyampaian syair-syairnya pun ditukar ke dalam bahasa lain dan baju adat lain. apabila kondisi ini terus-menerus kita biarkan dan kita anggap enteng bukan tidak mungkin suatu saat nanti Tari Saman akan diklaim menjadi milik orang lain dan bukan lagi milik masyarakat Gayo?, masuk akal kan?. Kalau lah seandainya Tari Saman diklaim menjadi milik orang lain tetapi gerakan-gerakan tarinya, bahasanya masih menggunakan bahasa Gayo, dan para penarinya pun masih memakai baju adat Gayo, mungkin kita tidak terlalu sedih tetapi sekarang kondisinya tidak demikian.

Datu orang Gayo menciptakan Tari Saman dengan perpaduan gerakan-gerakan yang serempak dan enerjik dan kemudian memiliki daya tarik tersendiri bagi orang yang menyaksikannya mungkin merupakan suatu karunia dan rahmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada masyarakat Gayo. Karena itu masyarakat Gayo harus mensyukuri karunia, rahmat dan pemberian Allah SWT tersebut dengan cara menjaganya, merawatnya, mengembangkannya dan melestarikannya. Sama seperti halnya dengan anak/mobil, ketika kita memperoleh karunia oleh Allah SWT berupa seorang anak maka tentunya kita akan menjaganya, merawatnya, melindunginya dan memberikan pendidikan yang layak baginya. Itu adalah bentuk rasa syukur kita atas karunia Allah SWT tersebut. Kalau rasa syukur itu tidak kita lakukan berarti kita termasuk orang-orang yang tidak mau bersyukur!. Bukankah Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya “ Apabila engkau bersyukur akan nikmat-Ku maka niscaya akan kutambah nikmat itu, tetapi apabila engkau ingkar, ingatlah sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.

Kasus pembajakan Tari Saman ini dapat kita jadikan sebagai bahan renungan dan instropeksi diri, apakah kita sebagai orang Gayo selama ini telah bersyukur kepada Allah SWT dengan segala karunia, rahmat dan pemberian-Nya? Baik itu berupa tanah pertanian yang subur, seni tari yang indah, bahasa yang luar biasa dan budaya serta peradaban yang tinggi. Coba bayangkan jika gerakan-gerakan Tari Saman sudah ditiru/dijiplak/diambil, baju adat dan bahasa penyampaian syair-syairnya pun sudah diubah, bagaimana orang lain bisa mengenal dan mempelajari bahasa, seni dan budaya Gayo ?. bagaimana orang lain bisa tahu kalau diatas bumi ini ada yang namanya Suku Gayo?. Dan mungkin juga Tari Saman itu merupakan suatu jalan yang diberikan oleh Allah SWT bagi orang Gayo untuk bisa dikenal secara luas oleh masyarakat-masyarakat lain di dunia melalui jalur seni dan budaya. Tetapi pada kenyataannya hari ini, gerakan-gerakan Tari Saman sudah ditiru, dijiplak bahkan diambil kemudian bahasanya dan baju adat para penarinya sudah diubah sedemikian rupa oleh kelompok-kelompok tertentu dengan seenaknya, jika kondisi itu terus kita biarkan dan kita menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar-wajar saja maka berarti kita adalah termasuk manusia yang tidak bersyukur tadi dan tidak mempunyai tanggung jawab moral terhadap kesenian kita sendiri. Dan bukan tidak mungkin apabila kita lalai, suatu saat nanti Tari Saman akan diklaim menjadi milik kelompok masyarakat lain.

Bahkan sekarang ini sudah ada opini yang berkembang bahwa seolah-seolah Tari Saman itu adalah milik sekelompok masyarakat tertentu. dan ada sebuah proyek pendidikan di Aceh yang di danai oleh USAID DBE 2 yang mengembangkan Tari Saman bukan dalam bahasa aslinya yaitu bahasa Gayo dan para penarinya pun tidak memakai baju adat Gayo. Bahkan mereka membuat VCD yang berisi instruksional Tari Saman dalam bahasa Aceh, Inggris dan Indonesia dan disebarkan ke Sekolah-Sekolah Dasar di Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Bireuen, dan Aceh Tengah agar dapat dipelajari oleh siswa-siswa SD yang notabene adalah generasi penerus. Yang apabila kondisi ini dibiarkan maka anak-anak SD yang ada di Gayo akan mempelajari Tari Saman dalam bahasa lain yang sebenarnya asal Tari Saman itu adalah dari Gayo. Ini sangat ironis sekali. dan mereka beralasan mengapa mereka lakukan seperti itu karena bahwa “kondisi yang demikian yang sekarang terjadi secara nyata di lapangan dimana Tari Saman sudah ditampilkan bukan lagi dalam bahasa aslinya yaitu bahasa Gayo dan para penarinya pun sudah tidak lagi memakai baju adat Gayo”. Alasan yang demikian itu, tentu saja semakin memompa semangat kita untuk mengadvokasi Tari Saman secara sistematis. Sebelum hal itu terus berlanjut maka kita sebagai generasi muda Gayo harus mengambil langkah-langkah penyelamatan baik secara hukum maupun non hukum, di luar pengadilan maupun di dalam pengadilan dalam rangka mengembalikan marwah dan identitas kita sebagai sebuah komunitas yang kaya akan seni dan budaya. “Kalau warisan datu kita yang sudah ada saja, yang berupa Tari Saman tidak bisa kita jaga, saya kira kita jangan bermimpi untuk meraih sesuatu yang sama sekali belum ada”.

Gerakan penyelamatan Tari Saman yang akan kita lakukan bukan bermaksud untuk melarang agar Tari Saman jangan ditampilkan oleh orang lain/kelompok lain. Bahkan sebaliknya kita sebagai masyarakat Gayo akan semakin bangga mengaku bahwa kita orang Gayo karena memiliki seni-budaya yang indah dan diminati oleh orang lain. Dan juga gerakan penyelamatan Tari Saman yang akan kita lakukan bukan untuk memunculkan konflik baru di tengah-tengah masyarakat/mengkotak-kotak

kan masyarakat antara satu dengan yang lainnya. Tetapi gerakan yang akan kita lakukan adalah murni gerakan penyelamatan seni-budaya dalam rangka melindungi aset seni dan budaya GAYO agar tetap lestari sampai ke akhir zaman. Jadi kita tidak perlu “kemel” atau merasa ini hal yang tabu untuk diadvokasi. Dan Tidak ada unsur-unsur sentimen kesukuan/primordial dalam gerakan ini. Kapan lagi bahasa Gayo mau dipelajari oleh orang lain kalau bukan melalui Tari Saman? Dan kapan lagi budaya Gayo akan dikenal oleh kelompok masyarakat lain kalau bukan melalui Tari Saman?, Apakah ketika Tari Saman yang dibawakan dengan bahasa lain dan baju adat penarinya juga lain, namanya tetap Tari Saman?. Atau namanya berubah menjadi Tari Samin? Atau bahkan Tari Samun?, wallahu’a’lam bissawab.

Bukankah ketika salah satu irama lagu Peterpen yang dinyanyikan oleh penyanyi India dalam bahasa India dengan irama musik yang sama dengan yang dimiliki oleh grup musik Peterpen beberapa waktu yang lalu, itu sudah dikategorikan sebagai sebuah bentuk pembajakan? Apa bedanya dengan kondisi Tari Saman hari ini?. Kalau kondisi seperti ini terus kita biarkan dimana setiap sanggar tari di Aceh yang membawakan/menampilkan Tari Saman selalu menggunakan bahasa dan baju adat lain dan tidak menggunakan bahasa dan baju adat Gayo.maka cepat atau lambat Tari Saman akan menghilang dari Gayo, sama halnya dengan kondisi bahasa Gayo yang hampir punah. Sungguh tragis!!!.

April 2024
M T W T F S S
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Blog Stats

  • 36,248 hits